MAKLUMAT — Industri fashion muslim di Indonesia terus melaju. Dari ajang fashion week, media sosial, hingga kampanye modest fashion global, perempuan muslim tampil di garda depan. Namun satu pertanyaan mengemuka: di mana posisi pria muslim dalam pusaran tren ini? Kenapa fashion muslim pria masih tampak tertinggal?
Perempuan Menguasai Panggung Modest Fashion
Fakta di lapangan menunjukkan dominasi perempuan dalam industri fashion, termasuk fashion muslim. Brand dan desainer lebih banyak merancang busana untuk perempuan. Tren hijab, gamis, tunik, dan outerwear berkembang pesat, sementara pilihan untuk pria cenderung itu-itu saja: koko, kurta, jubah. Modelnya jarang berubah, warnanya itu lagi—hitam, putih, cokelat, abu-abu.
Perempuan dianggap lebih ekspresif, lebih peduli tren, dan aktif belanja sebagai bagian dari gaya hidup. Hal ini membuat produsen lebih fokus pada pasar perempuan. Akibatnya, fashion muslim pria tertinggal dalam hal inovasi dan variasi.
Kurangnya Role Model Fashion Pria
Di media sosial, kita bisa melihat ribuan hijaber tampil stylish setiap hari. Mereka menjadi inspirasi, membuka lini fashion sendiri, dan mendapat panggung promosi dari brand-brand besar.
Sebaliknya, pria muslim jarang muncul sebagai figur fashion. Influencer pria yang konsisten menampilkan gaya busana syar’i masih minim. Kalaupun ada, mereka sering terselip di antara konten lifestyle atau religi.
Melansir dari laman Fashion Muslim Luna, tanpa sosok panutan yang kuat, tren fashion muslim pria sulit berkembang. Padahal, jika melihat potensi da’i muda, aktor, dan kreator konten muslim, ada ruang besar untuk mempopulerkan gaya berpakaian pria yang keren, sopan, dan tetap sesuai syariat.
Stereotip Membatasi Ekspresi
Di masyarakat, masih banyak anggapan bahwa pria muslim tak perlu tampil gaya. “Yang penting sederhana, nggak mencolok, dan tetap kelihatan alim.” Pandangan seperti ini membuat banyak pria enggan berekspresi lewat busana karena takut dianggap terlalu modis atau kurang maskulin.
Padahal, kesederhanaan dalam Islam bukan berarti kaku. Pria tetap bisa memilih busana yang syar’i tapi modern—potongan longgar, bahan adem, warna earth tone yang kalem tapi tetap berkarakter.
Brand Lokal Masih Minim Inovasi
Sebagian besar brand lokal masih menjadikan koleksi pria sebagai pelengkap. Mereka biasanya merilisnya saat Ramadan atau menjelang Lebaran. Di luar itu, pilihannya minim dan variasinya terbatas.
Namun beberapa tahun belakangan, muncul inisiatif positif. Beberapa brand mulai menghadirkan modest menswear yang lebih beragam: kemeja panjang cutting loose, celana sirwal bergaya kasual, atau outerwear dari bahan linen. Ini menunjukkan bahwa pasar pria muslim mulai diperhitungkan—meskipun langkahnya masih pelan.
Haruskah Fashion Muslim Pria Selalu Tertinggal?
Tentu tidak. Justru sekarang waktu yang tepat untuk mengangkat fashion muslim pria ke level berikutnya. Desainer perlu berani mengeksplorasi gaya pria muslim tanpa meninggalkan nilai syar’i. Influencer dan publik figur juga perlu hadir sebagai representasi gaya yang menginspirasi. Dan yang paling penting, pria muslim sendiri perlu lebih percaya diri dalam mengekspresikan identitas lewat busana.
Karena pada akhirnya, fashion muslim bukan sekadar tren. Ia adalah wujud dari identitas, ekspresi, dan nilai. Dan ekspresi itu milik semua—bukan hanya perempuan, tapi juga pria.***