
MAKLUMAT — Perdebatan soal penentuan awal bulan kamariah kembali mengemuka dalam Halaqah Nasional Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) yang digelar di Yogyakarta, Sabtu (19/4). Salah satu pertanyaan penting yang dibahas dalam forum itu adalah: mengapa Kota Mekkah, yang memiliki kedudukan spiritual sebagai pusat ibadah haji, tidak dijadikan acuan utama dalam KHGT?
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Syamsul Anwar, memaparkan alasan teknis dan syar’i yang menjadi dasar penolakan terhadap usulan menjadikan Mekkah sebagai titik referensi tunggal penanggalan Islam global. Mengutip hadis riwayat Abu Hurairah, “Puasa itu pada hari kalian semua berpuasa, Idulfitri itu pada hari kalian semua ber-Idulfitri…,” Syamsul menjelaskan bahwa maksud keseragaman dalam ibadah bukan berarti Mekkah harus dijadikan pusat hitungan kalender. “Hadis ini menekankan pada keseragaman waktu ibadah, bukan lokasi teknis penetapan awal bulan,” ujarnya.
Ia mengkritisi parameter “moonset after sunset” yang diusulkan Ahmad Syakir—pelopor kalender global Islam—sebagai acuan. Pada kasus Rajab 1424 H (27 Agustus 2003), meski bulan terbenam setelah matahari di Mekkah, ijtimak belum terjadi. Ini menunjukkan bahwa terbenamnya bulan setelah matahari tidak menjamin syarat astronomis sah-nya awal bulan.
Selain itu, Syamsul menyebut kelemahan kedua: ketimpangan wilayah. Dalam beberapa kasus, hilal bisa tampak jelas di negara lain tetapi tetap ditolak karena tidak terlihat di Mekkah. “Ini bertentangan dengan prinsip unifikasi,” tegasnya.
Muhammadiyah Bentuk Tim Khusus Kalender
Untuk menjawab tantangan KHGT, Syamsul mendorong Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah membentuk tim kalender lintas disiplin, terdiri dari ahli astronomi dan syariah. Tim ini akan menelaah berbagai variabel penting, termasuk batas tanggal internasional yang tidak konsisten secara geopolitik dan praktis.
“Garis bujur lebih relevan daripada garis pantai yang miring,” usulnya, sembari mencontohkan wilayah Pasifik yang kerap berpindah zona waktu dan menyulitkan penentuan tanggal Hijriah.
Ia juga menyoroti kesulitan di zona barat dunia, seperti Amerika, di mana kemungkinan rukyat (imkanu rukyat) sangat terbatas bahkan dengan alat optik canggih. Oleh karena itu, perlu kriteria tambahan, seperti ijtima sebelum fajar di wilayah timur seperti Selandia Baru.
Syamsul juga mengapresiasi kehadiran Pusat Astronomi (Pastron) UAD, yang menjadi mitra penting dalam kajian ilmiah KHGT. “Ini kekuatan Muhammadiyah yang harus dimaksimalkan,” katanya.
KHGT dan Visi 120 Tahun Pembaharuan Islam
Halaqah juga menjadi panggung penguatan posisi Muhammadiyah dalam proyek global ini. Ketua Majelis Tarjih, Hamim Ilyas, menegaskan bahwa KHGT adalah wujud pembaharuan Islam yang telah dirintis sejak era K.H. Ahmad Dahlan. Penerapan KHGT juga sejalan dengan hasil Munas Tarjih ke-32 di Pekalongan dan rekomendasi Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) pada 2016.
Muhammadiyah merencanakan isbat internasional KHGT untuk 25 tahun ke depan pada 29 Zulhijah 1446 H, dengan undangan terbuka kepada berbagai organisasi Islam dari Amerika, Eropa, Turki hingga Pakistan. Meski final secara substansi, KHGT masih dalam penyempurnaan teknis sebelum resmi diberlakukan mulai 1 Muharram 1447 H.
“KHGT adalah simbol pembaharuan Islam dan komitmen Muhammadiyah terhadap Islam otentik,” ujar Hamim. Ia menambahkan bahwa slogan “120 Tahun Pembaharuan Islam” akan menyertai peluncuran kalender global ini.