MAKLUMAT — Pejuang kemanusiaan yang nyaris terlupakan, hidupnya penuh pengorbanan untuk nasib buruh, sehingga ada banyak keteladanan berupa bunga-bunga. Marsinah meski sebagai buruh, namun menginspirasi untuk perubahan yang menyejahterakan.
Marsinah seorang buruh yang ulet, tekun dan disiplin serta mudah bergaul, khususnya dengan teman-teman buruh senasibnya memiliki keberanian menyuarakan dan memperjuangkan kesejahteraan yang begitu total, meski akhirnya mendapat derita menyakitkan, hingga kematian.
Pejuang nasib buruh itu diketahui menghilang pada 5 Mei 1993 entah di mana berada, setelah berusaha memperjuangkan 13 orang teman senasibnya sebagai bentuk solidaritas untuk mendapat keadilan dan kesejahteraan. Ternyata, tiga hari kemudian pada 8 Mei 1993, diketahui sudah meninggal dunia di sebuah gubuk di daerah Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur, dalam kondisi memprihatinkan akibat kekerasan berat yang ditimpanya.
Pembunuhan Marsinah, seorang buruh, merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat, ada perencanaan yang matang dan keterlibatan beberapa pihak di masa orde baru, di mana kebebasan warga dibatasi dan yang menyuarakan aspirasi dihabisi secara kejam di luar batas kemanusiaan. Pada tahun yang sama saat kematiannya, mendapat penghargaan Yap Thiam Hien, dan menjadi perhatian dunia internasional, sehingga Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO) mencatat dan dikenal sebagai kasus 1773.
Tidak ingin untuk membuka luka lama atas tragedi kemanusiaan dengan pembunuhan Marsinah, tetapi tetap mengingatkan kita semua untuk lebih bijak dan manusiawi terhadap rakyatnya sendiri, lebih-lebih pada seorang wanita buruh yang berusaha mendapatkan hak kesejahteraan.
Sosok Marsinah, seorang wanita yang tangguh, lahir pada 10 April 1969 di Desa Nglundo, Sukomoro, Nganjuk, Jawa Timur. Ia merupakan tiga bersaudara, yaitu Marsini, Marsinah, dan Wijiati. Tinggal di suasana pedesaan bersama bibinya setelah ibunya meninggal dunia ketika berusia 2 tahun. Pendidikannya hanya sampai di SMA Muhammadiyah Nganjuk. Setelah lulus ingin kuliah, tetapi tidak ada biaya, sehingga bekerja sebagai buruh pabrik di Surabaya dan berpindah ke Sidoarjo, hingga meninggal dunia dalam usia yang relatif muda, 24 tahun.

Mengenang Marsinah tidak sekedar tabur bunga dan doa saja, tetapi bagaimana kita bisa menemukan bunga-bunga keteladanan perjuangan, yang peduli kesejahteraan dan keadilan buruh.
Sudah 32 tahun tragedi kemanusiaan terbunuhnya Marsinah, dan kita berharap jangan ada lagi tragedi kemanusiaan terulang kembali, dengan berbagai alasan apapun yang mengakibatkan korban pada rakyat sendiri. Justru saatnya kita bangun kebersamaan, karena buruh bukan sekedar pekerja saja, tetapi telah berjasa dalam pengembangan industri di negeri ini.
Hubungan antara pengusaha dan buruh saat orde baru yang belum menampakkan rasa keadilan yang menyejahterakan bagi semua. Pengusaha semakin kaya, sedang buruh dibuat menderita, hal ini merupakan bentuk arogansi dan diskriminasi yang sangat membahayakan kedaulatan negeri.
Ketajaman berpikir Marsinah yang kritis atas kondisi yang ada telah membuka kesadaran kita, sehingga ada beberapa bunga keteladanan Marsinah yang harus terus kita kobarkan, yakni: Pertama, mewujudkan keadilan sosial atau personal. Silaturahmi kelima Pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sehingga terwujud kesejahteraan, ternyata hanya berkutat pada keadilan bagi personal, sehingga bagaimana untuk meningkatkan kesejahteraan personal dari lingkaran terdekat antara pengusaha dan penguasa, akibatnya keadilan sosial hanya menjadi retorika saja tanpa usaha nyata. Bagaimana kemiskinan di sekitar kita yang begitu dekat, sedang di sisi yang lain begitu angkuhnya berfoya-foya tanpa ada rasa peduli untuk berbagi.
Kedua, mengaktualisasikan amar makruf nahi munkar. Berbagai ketimpangan yang ada membuat Marsinah tergerak untuk ber-amar makruf nahi munkar. Marsinah sadar akan keterbatasannya, tetapi dia tidak bisa mendiamkan ketidakterbatasan selama ini di lingkungan kerjanya yang cenderung semena-mena dan arogan.
Dan ketiga menggerakkan kepedulian, meski kesejahteraan masih jauh dari harapan, Marsinah tergerak untuk membangun kepedulian sebagai bentuk solidaritas kemanusiaan. Marsinah benar-benar faham akan resiko ketika menggerakkan kepedulian, karena inilah energi perubahan untuk perbaikan.
Beberapa bunga keteladan perjuangan Marsinah untuk buruh merupakan hasil dari proses pendidikan yang diterima di SMA Muhammadiyah Nganjuk. Materi pelajaran ke-Muhammadiyah-an, khususnya model dakwah KH Ahmad Dahlan—pendiri Muhammadiyah—yang humanis dan konstruktif, dicoba diaktualisasikan untuk mendorong perubahan tanpa pengrusakan, justru diberikan keteladanan, kepeloporan sebagai bentuk dakwah yang mencerahkan.
Marsinah, perjuanganmu tidaklah sia sia, justru menginspirasi untuk peduli, semoga menjadi amal saleh! Aamiin.