MAKLUMAT — Pada tahun 2011, setelah melakukan penelitian tentang perjalanan kepemimpinan saya di Bojonegoro, Otto Scharmer dari MIT—penggagas Theory U—pernah ditanya tentang siapa sebenarnya Kang Yoto. Jawabannya sungguh mengejutkan saya sendiri: “Kang Yoto is a spiritual leader, a leader who works in the political field in emerging well-being for all.”

Menurutnya, saya bukan hanya pemimpin politik, tetapi pemimpin spiritual yang bekerja dalam arena politik untuk menghadirkan kesejahteraan bagi semua.
Beberapa tahun kemudian, Prof. Abdul Munir Mulkhan menulis buku Kepemimpinan Spiritual Transformatif Kang Yoto (2016). Beliau menyebut politik sebagai thariqah sufiyah—jalan kesufian—bagi saya. Dua pandangan ini membuat saya semakin menyadari bahwa kepemimpinan publik bukan sekadar proses politik dan manajerial, melainkan juga perjalanan spiritual yang menuntut keseimbangan antara nalar, rasa, dan kesadaran ilahi.
Politik dan Spiritualitas Bisa Menyatu
Dalam bayangan umum, politik sering dipersepsikan sebagai dunia keras, penuh intrik dan kepentingan. Namun, pengalaman lapangan menunjukkan bahwa justru di ruang-ruang itulah spiritualitas diuji.
Setiap pemimpin publik akan mengalami momen kritis—baik dalam kesulitan maupun keberhasilan. Di situlah nilai-nilai spiritual menemukan relevansinya.
Saya pernah mengalami saat-saat hampir putus asa, dicela, ditinggalkan, bahkan direndahkan. Dalam situasi seperti itu, spiritualitas menjadi sumber daya batin: menumbuhkan niat yang lurus, mujahadah, sabar, ridha, dan ikhlas. Energi spiritual menuntun saya untuk terus berjuang, bukan karena ambisi kekuasaan, tetapi karena keyakinan akan kebaikan yang lebih besar.
Sebaliknya, saat keberhasilan datang—menang dalam kontestasi, menerima penghargaan, atau mendapat pujian—jalan spiritual berperan sebagai penjaga agar saya tidak mabuk kuasa. Keberhasilan sejatinya bukan hasil kerja pribadi, tetapi buah dari harmoni antara masyarakat, alam, dan kehendak Tuhan. Prinsip eling lan waspada menjadi pegangan untuk tetap rendah hati dan sadar bahwa jabatan hanyalah amanah, bukan anugerah yang bisa dibanggakan.
Sains dan Spiritualitas dalam Kepemimpinan
Dalam dua dekade terakhir, banyak riset di bidang neuroscience of leadership dan spiritual leadership theory menegaskan pentingnya dimensi batin dalam kepemimpinan.
Peneliti seperti Louis Fry (2003) menyebut spiritual leadership sebagai kemampuan menumbuhkan calling (panggilan hidup) dan membership (rasa keterhubungan) dalam organisasi. Dua hal ini menumbuhkan motivasi intrinsik dan makna mendalam dalam kerja publik.
Sementara riset neuropsikologi menemukan bahwa manusia memiliki pusat kesadaran moral dan spiritual di otak—sering disebut God spot—yang berperan penting dalam keputusan altruistik dan empatik. Ketika bagian ini aktif, seseorang cenderung berpikir jernih, rendah hati, dan tergerak untuk melayani. Inilah dasar ilmiah mengapa spiritualitas bukan sekadar urusan agama, tetapi juga dimensi biologis dan psikologis yang menopang kepemimpinan berkelanjutan.
Dalam pengalaman saya, keputusan publik yang baik bukan hanya hasil kalkulasi rasional, tetapi juga hasil penyatuan antara nalar, empati, dan kesadaran spiritual. Pemimpin yang sadar secara spiritual akan lebih berhati-hati dalam menggunakan kekuasaan, lebih peka terhadap penderitaan warga, dan lebih mampu menjaga keseimbangan antara hasil dan kemaslahatan.
Menumbuhkan Spiritualitas dalam Kepemimpinan Publik
Kualitas spiritual seorang pemimpin tidak muncul tiba-tiba. Ia lahir dari latihan kesadaran dan disiplin refleksi diri. Ada beberapa hal yang saya rasakan penting:
- Niat Luhur: Menempatkan jabatan sebagai amanah untuk menebar manfaat, bukan untuk mencari kemuliaan pribadi.
- Refleksi dan Keheningan: Meluangkan waktu untuk merenung, mendengar suara hati, dan berdialog dengan diri. Dalam keheningan, kita sering menemukan kebijaksanaan yang tidak muncul dalam hiruk-pikuk politik.
- Empati dan Kesadaran Ekosistem: Menyadari bahwa setiap kebijakan berdampak pada manusia, alam, dan masa depan.
- Ketulusan dan Kerendahan Hati: Menerima keberhasilan tanpa kesombongan, menghadapi kegagalan tanpa dendam.
- Syukur dan Cinta: Mengubah setiap pengalaman, baik pahit maupun manis, menjadi sumber pembelajaran dan kasih.
Kepemimpinan spiritual bukan berarti menjauh dari dunia, tetapi justru menyelami dunia dengan kesadaran yang lebih dalam. Ia tidak meniadakan sains, melainkan mengintegrasikan sains dengan nurani.
Dalam politik yang sering keras dan pragmatis, spiritualitas menjadi cahaya yang menuntun: agar pemimpin tidak hanya cerdas, tetapi juga bijak; tidak hanya berkuasa, tetapi juga berbelas kasih.
Mungkin benar seperti kata Otto Scharmer: pemimpin spiritual adalah mereka yang bekerja di dunia politik, namun hatinya berakar pada cinta dan kesejahteraan bagi semua. Dan mungkin di situlah letak hakikat sejati kepemimpinan publik—melayani dengan kesadaran akan kehadiran Tuhan.
Jakarta, 9 Oktober 2025