Mengurai Quarter Life Crisis: Pesan Psikolog UMY untuk Generasi Muda

Mengurai Quarter Life Crisis: Pesan Psikolog UMY untuk Generasi Muda

MAKLUMAT – Bagi sebagian orang usia 20 hingga 30 tahun, hidup terasa seperti teka-teki yang tak kunjung selesai. Di balik keceriaan media sosial, banyak anak muda menyimpan gundah yang tak terungkap. Sebuah masa yang disebut sebagai quarter life crisis—pergulatan batin yang muncul di antara masa remaja yang telah lewat dan kedewasaan yang mulai menuntut kepastian.

Psikolog Remaja Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Anita A’isah, S.Psi., M.Psi., melihat fenomena ini sebagai bagian dari fase perkembangan yang krusial. Ia menjelaskan bahwa masa ini menjadi titik awal di mana seseorang mulai dibebani berbagai tanggung jawab sebagai orang dewasa.

“Banyak yang dituntut untuk mandiri secara finansial, membangun relasi yang sehat, dan menentukan arah karier. Tapi pada kenyataannya, banyak pula yang belum cukup matang dalam hal kepercayaan diri dan kompetensi untuk menjawab semua itu,” kata Anita seperti dilansir laman UMY, Kamis (24/7/2025).

Anita memaparkan, mereka yang gagal melewati fase ini berisiko tenggelam dalam rasa kesepian, meskipun dikelilingi banyak orang. Dalam psikologi, hal ini menggagalkan pencapaian fase intimasi—kemampuan menjalin relasi dekat yang sehat dan bermakna.

“Kesepian itu bukan karena tidak punya teman, tapi karena kehilangan rasa aman, tidak dihargai, dan tidak merasa dicintai. Ini yang sering menghantam semangat belajar, kenyamanan bekerja, bahkan kestabilan emosi,” ujarnya.

Ia menyadari, keberhasilan seseorang melewati quarter life crisis tidak hanya ditentukan oleh apa yang ia miliki sekarang. Pola asuh masa kecil dan luka-luka yang belum pulih sangat memengaruhi bagaimana seseorang menyikapi tekanan.

Baca Juga  Covid Bangkit Lagi? Varian Nimbus Disebut Lebih Menular

“Masa lalu itu penting. Kalau tidak berdamai dengan luka-luka masa kecil, maka luka itu akan ikut bicara saat kita menghadapi masalah. Mereka akan menuntut pengakuan,” kata Anita dengan nada tenang namun dalam.

Meski berat, Anita mengajak generasi muda untuk tidak menyerah. Ia menyarankan dua langkah awal: menerima luka dan mulai berdamai dengan masa lalu, lalu fokus pada hal-hal yang masih bisa diusahakan—pengembangan diri, belajar, dan ketekunan.

“Jangan bergantung pada pujian orang lain. Kalau kita terus mengukur kebahagiaan dari sana, kita akan lelah. Yang penting itu menghargai proses. Jadilah pribadi yang lebih baik dari kemarin. Tambah ilmu, perbaiki sikap,” ucapnya.

Anita merujuk pada penelitian terbaru yang menunjukkan bahwa dua faktor utama bisa membantu seseorang melewati fase krisis ini: komitmen dan spiritualitas.

“Komitmen berarti mau terus belajar dan tidak cepat menyerah. Sedangkan spiritualitas memberi ruang refleksi dan penerimaan terhadap hal-hal yang berada di luar kendali kita,” jelasnya.

Ia mencontohkan bagaimana tindakan kecil seperti shalat Subuh bisa memberi ketenangan yang bertahan sepanjang hari. Bagi Anita, spiritualitas menjadi jangkar penting di tengah ketidakpastian dan hiruk-pikuk ekspektasi sosial.

“Kalau punya koneksi spiritual yang kuat, kita jadi lebih mudah bersyukur. Kita tidak akan sibuk mengejar validasi orang lain. Kita punya tempat pulang untuk berharap,” ujarnya lirih namun tegas.

Baca Juga  Apakah Lansia Perlu Minum Suplemen Tulang? Ini Penjelasan Ilmiahnya

Sebagai psikolog, Anita tidak ingin generasi muda menganggap quarter life crisis sebagai musuh yang harus ditakuti. Sebaliknya, ia ingin fase ini menjadi jendela bertumbuh.

“Ini saatnya mengenal diri lebih dalam, membentuk karakter, dan menyusun ulang prioritas hidup. Jangan takut. Ini bukan akhir, tapi permulaan,” pesannya.

Anita menutup obrolan dengan satu kalimat sederhana namun kuat: “Kalian tidak harus membahagiakan semua orang. Kalian hanya perlu menjadi pribadi yang lebih bermakna.”***

*) Penulis: Edi Aufklarung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *