Menimbang-nimbang Manfaat dan Tantangan Redenominasi Rupiah Menurut Pakar

Menimbang-nimbang Manfaat dan Tantangan Redenominasi Rupiah Menurut Pakar

MAKLUMAT — Pakar Ekonomi Akuntansi dari Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Dr Sigit Hermawan SE MSi CIQaR CRP, turut menyampaikan pandangannya soal rencana Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk melakukan redenominasi mata uang rupiah.

Seperti diketahui, dalam beberapa waktu terakhir Kemenkeu mengungkapkan rencana strategis untuk melakukan redenominasi rupiah, yaitu dengan penyederhanaan nominal mata uang dengan menghilangkan tiga angka nol, tanpa mengubah daya beli masyarakat.

Dr Sigit Hermawan SE MSi CIQaR CRP.
Dr Sigit Hermawan SE MSi CIQaR CRP.

Redenominasi merupakan langkah teknis untuk mengurangi angka nol dalam mata uang, seperti menjadikan nilai Rp1.000 menjadi Rp1, atau Rp1.000.000 menjadi Rp1.000, tanpa mengubah nilai riil uang tersebut.

“Namun nilai tersebut sama. Jika diterapkan nanti, uang 1 rupiah baru, sama dengan seribu rupiah yang lama, sehingga perubahan yang dimaksud adalah perubahan angka,” ujar Sigit, dalam keterangan yang diterima Maklumat.id, Rabu (19/11/2025).

Manfaat Redenominasi bagi Perekonomian

Sigit menilai redenominasi dapat memberikan efisiensi dalam transaksi dan pencatatan keuangan. Penyederhanaan angka diyakini dapat membuat proses transaksi menjadi lebih praktis dan mudah.

“Redenominasi ini akan lebih mudah dibaca, dilihat, dan dihitung, baik dalam transaksi di pasar maupun dalam sistem keuangan negara,” katanya.

Namun, ia juga mengingatkan pentingnya menjaga stabilitas ekonomi sebelum kebijakan ini diterapkan. Stabilitas makro ekonomi dan inflasi menjadi syarat utama agar redenominasi memberikan manfaat jangka panjang.

Baca Juga  Soal Reshuffle Kabinet, Begini Catatan Dosen Umsida

“Dengan adanya redenominasi, kita akan lebih mudah dan praktis dalam melakukan transaksi, serta meningkatkan citra perekonomian Indonesia di mata internasional,” tambahnya.

Selain itu, Sigit menyebut bahwa beberapa negara lain telah berhasil menerapkan kebijakan serupa, termasuk Malaysia yang menggunakan angka nominal lebih sederhana.

“Di negara tetangga, misalnya Malaysia, penggunaan angka nol yang lebih sedikit sudah menjadi hal yang biasa. Jika dilihat dari sisi internasional, ini memberikan kesan bahwa ekonomi negara tersebut lebih efisien,” tandasnya.

Risiko dan Tantangan Redenominasi

Meski membawa manfaat, Sigit juga menyoroti sekaligus mengingatkan potensi risiko yang mungkin terjadi, terutama dari sisi psikologis masyarakat dan pasar.

Ia menegaskan, tanpa edukasi dan sosialisasi yang memadai, masyarakat bisa bingung atau bahkan kehilangan kepercayaan terhadap nilai uang baru.

“Jadi, selain penyesuaian di sistem keuangan, tantangan terbesar adalah bagaimana menjelaskan kepada masyarakat tentang perubahan tersebut, agar tidak ada kebingungan yang berlarut-larut,” jelas Sigit.

Selain itu, lanjut Sigit, sektor akuntansi dan perbankan harus melakukan penyesuaian pada sistem pencatatan dan pelaporan keuangan.

“Sosialisasi yang gencar dan pemahaman yang baik tentang bagaimana redenominasi ini bekerja akan sangat penting agar transisi berjalan mulus,” tegasnya.

Lebih jauh, Sigit menyarankan masa transisi yang cukup panjang sebagai langkah antisipatif, termasuk pentingnya upaya sosialisasi melalui berbagai cara.

“Sosialisasi melalui media sosial, pertemuan dengan pelaku usaha, serta dialog langsung dengan masyarakat di daerah pelosok akan membantu proses adaptasi ini,” terangnya.

Baca Juga  Peran Tauhid sebagai Fondasi Islam Berkemajuan

Pentingnya Edukasi Masyarakat

Lebih lanjut, Sigit menekankan bahwa edukasi merupakan kunci dalam proses redenominasi.

“Penyuluhan dan sosialisasi yang intens terutama di daerah-daerah pelosok, sangat diperlukan agar proses redenominasi dapat diterima dengan baik. Jangan sampai ada statement yang menilai bahwa uang lama sudah tidak laku, keduanya bisa dipakai,” jelasnya.

Sekali lagi, ia kembali menegaskan bahwa redenominasi tidak mengubah nilai uang, melainkan hanya menyederhanakan nominal. Oleh karena itu, sambungnya, banyak pihak perlu terlibat mulai dari perangkat desa, UMKM, hingga perbankan, agar informasi dapat tersampaikan secara merata.

“Proses sosialisasi bisa memakan waktu 3 hingga 5 tahun sebelum masyarakat terbiasa dengan perubahan nominal ini. Uang lama dan uang baru akan beredar bersamaan dalam periode tersebut,” kata Sigit.

Penyesuaian Sistem Keuangan

Tak cuma itu, Sigit menandaskan bahwa dengan kebijakan tersebut, maka pemerintah bersama sektor keuangan perlu memastikan sistem akuntansi dan teknologi informasi yang mampu mendukung redenominasi.

“Perubahan sistem ini mungkin membutuhkan penyesuaian pada software akuntansi dan sistem pembayaran di berbagai sektor ekonomi, termasuk perbankan dan UMKM,” tambahnya.

Keberhasilan redenominasi, kata dia, sangat bergantung pada koordinasi antar lembaga keuangan negara.

“Kebijakan fiskal moneter juga harus koordinatif antara lembaga seperti BI (Bank Indonesia), keuangan, OJK (Otoritas Jasa Keuangan), serta pemerintah,” pungkas Sigit.

*) Penulis: Romadhona S / Ubay NA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *