23.2 C
Malang
Kamis, Januari 9, 2025
OpiniMenjaga Keseimbangan Pengaturan Presidential Threshold Pasca Putusan MK

Menjaga Keseimbangan Pengaturan Presidential Threshold Pasca Putusan MK

Ketua LHKP PWM Jatim Ridho Al Hamdi

MAKLUMAT — Putusan MK yang menghapus syarat ambang batas presiden (presidential threshold) 20 persen memang menyandera perhatian publik. Setidaknya ada beberapa hal yang menarik perhatian masyarakat. Termasuk saya pribadi.

Secara personal, saya setuju dengan putusan MK yang menghapus syarat ambang batas presiden 20 persen. Dengan demikian, kompetisi pemilihan presiden (Pilpres) ke depan dapat menghadirkan kandidat yang beragam.

Namun, ambang batas 0 persen tidak serta merta diterima. Kenapa? Sebab ini bisa menjadi bola liar, dan siapa saja tanpa identitas bisa maju dan justru merusak tata kelola demokrasi. Pelembagaan partai politik tetap harus dijaga agar arah konsolidasi demokrasi Indonesia tetap berjalan pada relnya.

Karena itu, saya mengusulkan bahwa ambang batas presiden memang 0 persen, tetapi calon presiden dan calon wakil presiden hanya bisa melalui partai politik yang lolos ambang batas parlemen (parliamentary threshold). Jadi, ambang batas parlemen tetap ada. Hal ini karena adanya sejumlah pertimbangan.

Pertama, ini merupakan bentuk apresiasi sistem pemilu terhadap kinerja parpol yang sukses memperoleh kursi di DPR RI. Kedua, bagi parpol yang yang gagal ke parlemen, mereka harus bekerja lebih serius lagi pada Pemilu berikutnya.

Berikutnya adalah pengelolaan parpol harus dengan strategi serius untuk menjaga kesinambungan (sustainability) dan daya ketahanan (resiliency).

Sementara, ambang batas parlemen tidak lagi 4 persen seperti yang berlaku pada UU Pemilu 2017. Hasil riset saya dan tim di Univesitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) mengusulkan ambang batas parlemen berkisar antara 2,5 persen hingga 3 persen. Jumlah ini setara, setidaknya, 18 kursi dari 580 kursi DPR RI.

Tawaran ini tak lepas dari sejumlah pertimbangan. Misalnya, pertama adalah ambang batas parlemen 4 persen terlalu besar yang mengakibatkan wasted vote (suara yang tidak terpakai) terlalu besar. Hasil riset kami menunjukkan, total wasted vote pada Pileg 2014 adalah 21,79 persen atau 124.972.491 suara dengan metode hitung Kuota Hare.

Sementara total wasted vote pada Pileg 2019 sebesar 21,43 persen atau 29.532.028 suara dengan metode hitung Sainte Lague Murni. Kami belum menghitung total wasted vote pada Pileg 2024 karena membutuhkan tim yang banyak melakukan simulasi ini.

Kedua terkait dengan tawaran desain ambang batas 2,5 persen hingga 3 persen yang menunjukkan, bahwa sebuah fraksi minimal dapat mendistribusikan para anggotanya ke semua alat kelengkapan dewan (Alkep) DPR RI. Ketiga, jika ambang batas parlemen 0 persen benar-benar berlaku, pelembagaan partai politik tidak terjadi.

Kita tentu ingat ketika Pileg 2004 menerapkan ambang batas parlemen 0 persen. Ini mengakibatkan ada satu fraksi yang terdiri atas beberapa partai politik yang pada akhirnya bubar di tengah jalan. Banyak faktornya, yang salah satu paling mencolok adalah beragamnya perbedaan di internal fraksi.

Semua keputusan pasti ada risiko masing-masing. Tidak ada keputusan yang ideal dan menyenangkan semua pihak. Namun, jalan tengah merupakan cara terbaik dalam menyelesaikan masalah sehingga ada titik temu memperkecil risiko buruk.

* Penulis adalah Ketua LHKP PP Muhammadiyah.***

spot_img
Artikulli paraprak

Ads Banner

Ads Banner

Ads Banner

Lihat Juga Tag :

Populer