MAKLUMAT — Direktur Eksekutif Menteng Institute, Jumartono, mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum untuk segera melakukan audit forensik ekologis terhadap tambang yang dikelola PT Masmindo Dwi Area (MDA) di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan.
Sekadar diketahui, tambang tersebut telah berjalan selama lebih dari tiga dekade. Desakan itu muncul lantaran aktivitas pertambangan PT MDA dinilai telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang serius di Kawasan Pegunungan Latimojong.
Menurut Jumartono, area konsesi tambang yang mencapai 14.000 hektare itu diduga kuat menjadi salah satu penyebab utama kerusakan lingkungan di wilayah tersebut, khususnya penggundulan hutan yang berdampak pada daya dukung lingkungan.
“Audit forensik ekologis adalah pendekatan paling sahih untuk membuktikan hubungan kausal antara aktivitas industri dan bencana ekologis. Ini bukan hanya soal lingkungan, tapi juga soal nyawa dan keadilan sosial,” kata Jumartono dalam keterangannya, Selasa (1/7/2025).
Sebagai informasi, Kabupaten Luwu saat ini tercatat sebagai daerah dengan indeks kerawanan bencana tertinggi di Sulawesi Selatan, dengan banjir bandang sebagai ancaman yang terus meningkat setiap tahun.
Jumartono berpendapat, audit forensik ekologis sangat penting untuk menelusuri perubahan vegetasi dan lanskap pasca-aktivitas tambang. Selain itu, audit tersebut juga berfungsi menilai degradasi kualitas tanah dan air serta menghitung kerugian ekologis secara kuantitatif.
“Kerusakan fungsi ekologis seperti resapan air, penyimpanan karbon, dan hilangnya habitat keanekaragaman hayati harus dihitung dengan proyeksi waktu pemulihan ekosistem yang bisa mencapai puluhan tahun,” ungkapnya.
Kerugian Diperkirakan Capai Ratusan Miliar
Tak tanggung-tanggung, Jumartono memperkirakan kerugian ekologis bisa mencapai ratusan miliar rupiah. Sebab itu, ia menegaskan biaya rehabilitasi harus ditanggung oleh korporasi, bukan dibebankan kepada negara atau masyarakat.
Lebih lanjut, Menteng Institute juga menilai penting untuk menghitung dampak ekonomi dan sosial yang timbul akibat kerusakan lingkungan. Kerugian tersebut termasuk rusaknya infrastruktur, gangguan terhadap aktivitas pendidikan, hilangnya jam kerja produktif, hingga meningkatnya risiko kesehatan masyarakat.
Untuk itu, ia juga mendorong penggunaan pendekatan valuasi ekonomi lingkungan seperti Contingent Valuation Method (CVM), Replacement Cost, dan Benefit Transfer.
Dari sisi regulasi, Jumartono menyebut audit ini memiliki dasar hukum yang kuat, mulai dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri LHK Nomor P.7/2019, hingga preseden hukum dari Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait gugatan lingkungan hidup.
Ia bahkan mencontohkan keberhasilan audit forensik ekologis dalam kasus PT NSP di Riau dan PT Timah di Bangka Belitung, yang mampu membuka potensi kerugian negara hingga ratusan triliun rupiah.
“MDA harus dikenakan standar yang sama. Jika negara serius menegakkan keadilan ekologis, maka langkah awal yang tak bisa ditunda adalah audit forensik terhadap operasi mereka,” tandasnya.
Menurut Jumartono, audit tersebut wajib menghasilkan laporan ilmiah yang sah secara hukum, estimasi kerugian yang bisa ditindaklanjuti secara pidana dan perdata, serta rekomendasi pemulihan ekosistem berbasis bukti.