Merdeka, Tapi untuk Siapa?

Merdeka, Tapi untuk Siapa?

(Refleksi 80 tahun Indonesia merdeka)

MAKLUMAT — 80 tahun lalu, bangsa ini memproklamasikan kemerdekaannya dengan gegap gempita. Darah dan air mata para pejuang menjadi mahar bagi lahirnya sebuah republik yang dijanjikan untuk semua. Namun delapan dekade kemudian, pertanyaan itu kembali menghantui. Merdeka, tapi untuk siapa? Di tengah gegap perayaan, masih ada jutaan warga merasakan kemerdekaan hanya sebagai slogan. Mereka masih merasakan ketimpangan sosial, masalah kemiskinan, dan pengangguran.

Menurut data yang dikutip dari Trading Economics pada Kamis (14/8/2025), persentase jumlah pengangguran di Indonesia sebesar 4,76 persen, penurunan tersebut belum cukup menggeser posisi Indonesia dari peringkat pertama negara dengan tingkat pengangguran tertinggi di Asia Tenggara. Besarnya angka ini sejalan dengan jumlah penduduk Indonesia yang tercatat mencapai 285 juta jiwa pada tahun 2024, tertinggi di antara negara Asean. Lalu, apakah arti kemerdekaan jika masih ada ketimpangan sosial di negeri ini?

Arief Hanafi
Arief Hanafi

Data ini memperlihatkan kenyataan pahit, kemerdekaan tidak serta merta menyentuh lapisan masyarakat secara adil. Banyak lapisan masyarakat proletar yang terperangkap dalam ketertindasan struktural. Angka-angka di atas bukan sekadar statistik. Data di atas merupakan potret nyata dari kemerdekaan Indonesia yang belum sepenuhnya dirayakan oleh seluruh anak bangsa.

Kondisi tersebut mengingatkan penulis pada kegelisahan Buya Syafii Maarif (2018) yang mengatakan bahwa nilai luhur Pancasila, khususnya sila kelima, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, masih belum membumi, dan bahkan tercampakkan sejak awal kemerdekaan. Buya juga memperingatkan bahaya ketimpangan yang terus dibiarkan akan membawa bangsa ini pada kehancurannya.

Baca Juga  Mandat Politik kepada Ulama

Pernyataan Buya Syafii tersebut agaknya bukan isapan jempol belaka. Realitas sosial hari ini menunjukkan bagaimana segelintir elit ekonomi mampu menguasai sebagian besar sumber daya bangsa, sementara jutaan rakyat masih berjuang memenuhi kebutuhan paling dasar. Ketika kekayaan terkonsentrasi pada minoritas, maka mayoritas rakyat hanya menikmati sisa-sisa dari yang seharusnya menjadi hak kolektif.

Pemimpin yang Berkarakter

Maka untuk mengembalikan makna keadilan yang sebenarnya, perlu kiranya mengembalikan nilai-nilai Pancasila dalam setiap denyut kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila tidak sekadar dibaca dalam setiap upacara, tetapi menjadi pedoman nyata dalam setiap kebijakan negara. Untuk memosisikan itu, butuh pemimpin yang berkarakter dan berintegritas.

Meminjam konsep Max Weber (1978) dalam Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology, pemimpin itu sendiri dapat dikategorikan ke dalam beberapa tipe, tradisional, karimatik dan rasional legal. Pemimpin yang baik bagi sebuah bangsa yang modern menurut Weber adalah penggabungan karismatik dan rasional legal, sehingga mampu memimpin dengan legitimasi hukum sekaligus menggerakkan rakyat dengan keteladanan personal. Tanpa moralitas, kepemimpinan akan terjebak pada birokrasi kering yang menguntungkan elit.

Maka dalam konteks refleksi 80 tahun Indonesia merdeka ini, pemimpin bukan sekadar tokoh populer, terlebih terjebak pada populisme instan. Sebaliknya dibutuhkan sosok yang mampu mengaktualisasikan nilai-nilai keadilan sila kelima dalam Pancasila untuk kehidupan sehari-hari. Pemimpin seperti ini akan memastikan bahwa keadilan sosial tidak berhenti pada teks dalam Pembukaan UUD 1945, tetapi hadir dalam kehidupan masyarakat kecil.

Baca Juga  BPUPK dan Piagam Jakarta

Selain itu dalam alam demokrasi seperti ini, dibutuhkan pemimpin yang mau mendengar bukan hanya retorika kosong, melainkan benar-benar membuka telinga terhadap kritik, keluhan, dan aspirasi rakyat. Pemimpin yang mampu menerima kritik akan mampu menyeimbangkan kekuasaan dan tanggung jawab, sehingga kebijakan yang dihasilkan berpihak pada kepentingan publik, bukan hanya kelompok tertentu.

Kritik sejatinya adalah napas demokrasi. Tanpa itu, kekuasaan akan mudah terseret pada egoisme dan kepentingan pribadi, meninggalkan rakyat yang seharusnya menjadi fokus utama. Dalam konteks ini, kemerdekaan sejati bukan sekadar soal simbol dan seremonial, melainkan kemampuan bangsa untuk menegakkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat sesuatu yang harus diperjuangkan terus-menerus hingga ke pelosok negeri.

Penutup: Menegaskan Kembali Janji Proklamasi

Refleksi 80 tahun kemerdekaan ini seharusnya bukan sekadar merayakan simbol dan seremonial. Ini adalah momentum untuk menegaskan kembali janji proklamasi, bahwa kemerdekaan harus dirasakan oleh seluruh rakyat, bukan hanya segelintir elit. Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang berkarakter, berpihak pada rakyat, dan mampu menerima kritik sebagai cermin untuk memperbaiki diri dan kebijakan.

Hanya dengan cara itu, nilai-nilai Pancasila terutama sila kelima tentang keadilan sosial akan benar-benar membumi. Tanpa keberanian menghadirkan keadilan dan keseimbangan, kemerdekaan selama delapan dekade ini akan tetap menjadi retorika, bukan kenyataan bagi jutaan rakyat yang masih berjuang di garis ketimpangan. Sudah saatnya kita menuntut kemerdekaan yang sejati. Merdeka dalam hak, kesejahteraan, dan keadilan bagi seluruh anak bangsa.

Baca Juga  Makan Tidak Lagi untuk Kenyang, Tapi untuk Eksis
*) Penulis: Arief Hanafi
Anggota Majelis Pendidikan Kader dan Sumber Daya Insani PWM Jawa Timur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *