MAKLUMAT — Muhammadiyah kini sering dielu-elukan sebagai salah satu organisasi Islam terkaya di dunia. Pujian itu datang dari luar sekaligus dari internal warganya sendiri, menjadi mantra baru yang diulang dalam forum resmi, pengajian, hingga ruang digital. Tetapi justru di titik inilah jebakan baru muncul: ketika pujian berubah menjadi candu, dan candu menjelma menjadi titik rapuh moral organisasi.

Jika dulu Muhammadiyah dikenal karena etos “sedikit bicara banyak bekerja,” kini mulai tumbuh gejala baru: “banyak tampil sedikit teladan.” Fungsi publik para pimpinan bergerak dari kesederhanaan ke gestur-gestur elitis—dengan gaya hidup yang tidak lagi selaras dengan disiplin asketik yang dulu melekat pada nama-nama seperti K.H. Ahmad Dahlan, H. Fachruddin, A.R. Fakhruddin, Djarnawi Hadikusumo, Djasman Al-Kindi, atau Syafi’i Ma’arif.
Muhammadiyah yang awalnya lincah, kini makin tampak seperti “gajah bengkak”: besar, berpengaruh, tetapi tidak lagi sigap dalam kepekaan etik.
Data yang Berbicara
Aset lembaga pendidikan dan kesehatan Muhammadiyah tercatat hingga 2024, mengelola lebih dari 170 perguruan tinggi, lebih dari 400 rumah sakit & klinik, serta lebih dari 20.000 sekolah, pesantren, dan TK. Itu menjadikannya sebagai jaringan layanan publik terbesar di dunia Islam non-negara.
Secara nilai aset organisasi, sejumlah riset independen memperkirakan total nilai aset fisik-organisasional Muhammadiyah berada di kisaran Rp 320–350 triliun, itu belum termasuk aset likuid, aset digital, dan kapital sosial ekonomi warga.
Dua angka itu menunjukkan sebuah paradoks: ketika sumber daya melimpah, tantangannya bukan lagi “bagaimana membangun,” melainkan “bagaimana menjaga diri agar tidak terjerat penyakit organisasi besar”?
Di Mana Sumber Krisisnya?
Kerapuhan itu bukan pada jumlah aset, melainkan pada pergeseran psikologi organisasi, jika:
- Prestise lebih diprioritaskan daripada teladan moral.
- Orientasi publik bergeser dari pelayanan ke pencitraan.
- Konstruksi kepemimpinan lebih dihargai karena posisi, bukan integritas.
Di sinilah kita melihat munculnya gejala bahwa “etika menguap karena aplaus kolektif.” Pujian tentang kekayaan justru membuat kepekaan sosial bisa melemah. Ketika banyak orang sibuk memamerkan skala, sedikit yang mengajukan pertanyaan paling mendasar: apakah kultur organisasinya akan tetap membumi?
Kita cukup beruntung memiliki tokoh-tokoh yang tampil ke ranah publik dengan tetap merawat sikap tawadhu dan gaya hidup sederhana. Tentu gaya hidup yang terwujud karena internalisasi nilai-nilai kepribadian Muhammadiyah. Bukan sekedar kamuflase dan berpura-pura, agar nampak baik di depan masyarakat umum.
Kita pun cukup diuntungkan dengan keadaan jamaah Muhammadiyah yang secara umum tidak menjadikan pejabat publik dari Muhammadiyah terpaksa harus menyiapkan dana non-bujeter untuk memenuhi kebutuhan keberlangsungan amal usaha, sebagaimana yang umumnya terjadi pada organisasi kemasyarakatan lainnya.
Namun, kita juga membutuhkan panduan moral yang tegas bahwa ada upaya antisipatif untuk mencegah hal-hal buruk bisa terjadi. Ketika terjadi pelanggaran atas nilai etik, maka tidak lagi gagap untuk menegakkan disiplin organisasi. Kepatuhan etika menjadi kunci keberhasilan kader pemimpin Muhammadiyah di mana pun ia akan ditugaskan nanti. Karena, begitu kita telah mewakafkan kader terbaik untuk kepemimpinan bangsa dan negara yang lebih luas, maka ia haruslah menjadi garansi sukses tercapainya masyarakat utama yang kita cita-citakan bersama.
Keseimbangan harus dibangun, karena kita tidak ingin terjebak pada polarisasi pandangan kiri-kanan yang lebih luas. Agar tidak terjadi hegemoni struktural, yang lebih disebabkan oleh dominasi personal pimpinannya. Tetapi, mewujud pada sebuah harmoni organisasi yang elegan.
Tiga Langkah Pembaruan Etika Organisasi
Pertama, reformasi etika kepemimpinan. Setiap level pimpinan, dari tingkat ranting hingga pusat, perlu menandatangani kode etik publik yang mencakup: komitmen kesederhanaan, pembatasan gaya hidup mencolok, transparansi perjalanan dinas, dan kepatuhan atas disiplin organisasi. Muhammadiyah tidak butuh pemimpin yang terlihat besar, tetapi Muhammadiyah lebih membutuhkan sosok pemimpin yang terpercaya: sidiq, amanah, tabligh, fathonah.
Ini sangat mendesak dilakukan, terutama karena gejala pudarnya kesederhanaan itu semakin terasa paling nampak terjadi di kalangan elit Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pemuda Muhammadiyah, dan IMM. Setelah itu berlanjut untuk level wilayah dan daerah, termasuk berlaku juga untuk ortom-ortom lainnya.
Kedua, audit moral dan kelembagaan. Seperti audit keuangan, Muhammadiyah juga perlu menyusun audit nilai. Ini bukan sekadar laporan aset, tapi laporan kepatuhan etika: konflik kepentingan, nepotisme institusional, dan penggunaan fasilitas organisasi untuk kepentingan personal.
Ketiga, rekonstruksi narasi keagamaan tentang kesederhanaan. Muhammadiyah butuh reframing ideologi: dari “kebanggaan prestasi” ke “keteladanan watak”. Tanpa peneguhan kembali etos Al-Ma’un, organisasi akan menang secara statistik, tetapi kalah secara spiritual.
Di sinilah pertanyaan kritis itu bisa muncul: apakah kekayaan Muhammadiyah adalah berkah, atau justru awal dari kemunduran etiknya? Jawabannya tergantung satu hal: apakah kita mampu tetap sederhana ketika kita menjadi besar. Karena jika gajah hanya membesar tanpa disiplin moral, ia tidak akan menjadi kuat—ia justru hanya akan menjadi beban sejarah…
Ciputat, Jumat, 16 Jumadil Awal 1447 H / 7 November 2025 M