MAKLUMAT — Sekretaris Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, Muhammad Rofiq Muzakir PhD, dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Majelis Tabligh PP Muhammadiyah secara hybrid di Gedung Tabligh Institute Muhammadiyah pada Ahad (7/9/2025), menegaskan bahwa Muhammadiyah mengidentifikasi diri sebagai gerakan Islam berkemajuan.
Dalam forum yang mengangkat tema ‘Risalah Islam Berkemajuan dalam Perspektif Tafsir dan Pemikiran Peradaban‘ itu, Rofiq mengungkapkan bahwa pertanyaan yang kemudian mengemuka adalah bagaimana Muhammadiyah mendefinisikan konsep kemajuan itu sendiri.
Dalam Risalah Islam Berkemajuan, ditemukan sejumlah kata kunci yang menggambarkan cakupan makna kemajuan sebagaimana dipahami oleh Muhammadiyah. Pertama, kemajuan dimaknai sebagai keunggulan hidup; artinya, kemajuan tidak sekadar diukur dari aspek material, teknologi, atau ekonomi. Kedua, kemajuan dipahami sebagai rahmat atau kebaikan bagi semesta kehidupan, yang berarti orientasi Islam berkemajuan bukan eksklusif untuk umat Islam semata. Ketiga, kemajuan dipersepsi sebagai reformasi, modernisasi, dan pencerahan.
Rofiq menjelaskan, konsep kemajuan erat kaitannya dengan tradisi yang sejak awal menjadi identitas Muhammadiyah. Konsep ini, kata dia, juga tidak bisa dilepaskan dari diskursus global, khususnya Barat.
“Muhammadiyah melalui Risalah Islam Berkemajuan menempatkan dirinya dalam dialog global mengenai makna kemajuan, namun dengan memberikan tafsir khas yang bersumber dari ajaran Islam,” ujarnya, dalam keterangan yang diterima Maklumat.id pada Selasa (9/9/2025).
Lebih lanjut, Rofiq mengkritik konsep progres di dunia Barat, yang menurutnya cenderung bersifat materialistis.
“Konsep progress di dunia Barat cenderung bersifat materialistis. Kemajuan umumnya dimaknai dalam bentuk pencapaian-pencapaian duniawi, seperti perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan capaian ekonomi. Meskipun aspek ini penting, orientasi yang sepenuhnya material telah mengabaikan dimensi spiritual,” jelasnya.
Mengutip pandangan Charles Taylor tentang sekularitas modern, Rofiq menyebut sekularitas zaman modern membawa manusia kepada immanent frame yang tak mengindahkan transcendence frame.
Immanent frame sendiri adalah kerangka pikir materi-duniawi, sebaliknya transcendence frame adalah kerangka pikir non-duniawi alias transenden.
“Ia menyebutnya zaman di mana kita hidup tidak lagi sesuatu yang dianggap sebagai taken for granted (pasti), tetapi adalah suatu pilihan di antara banyak pilihan. Sekuleritas zaman modern membawa manusia kepada immanent frame (kerangka pikir materi-duniawi) yang tidak mempertimbangkan transcendence frame (kerangka berpikir non-duniawi),” katanya.
Rofiq juga menyoroti dampak ekologis. “Orientasi kemajuan yang sepenuhnya materialistis mendorong eksploitasi sumber daya alam tanpa batas, yang pada gilirannya menimbulkan krisis ekologi dan mengancam keberlangsungan hidup manusia,” paparnya.
Selain itu, ia menilai ada dimensi lain yang melekat pada konsep progres Barat. “Kelemahan adalah watak rasis yang inheren dalam konsep progres Barat. Dengan menafsirkan sejarah sebagai proses linear menuju satu titik puncak, peradaban Barat memposisikan dirinya sebagai entitas yang mewakili ‘the pinnacle of progress’. Konsekuensinya, peradaban lain dianggap tertinggal, bahkan tidak beradab. Cara pandang ini yang kemudian melahirkan kolonialisme,” ujarnya.
Rofiq juga menyinggung kritik pascakolonial. “Konsep kemajuan Barat dianggap memahami perjalanan sejarah secara linier, dari titik awal yang negatif menuju masa depan yang lebih baik, dengan asumsi bahwa masa depan selalu lebih maju dibandingkan masa lalu. Masa lalu digambarkan sebagai periode ketidakmatangan, bahkan kerap dilabeli sebagai ‘barbaric’ dan ‘savage’,” tuturnya.
Lebih jauh, ia mengutip pandangan kontemporer seorang pemikir asal Maroko, yang menggambarkan sikap fobia Barat terhadap masa lalunya sendiri.
“Menurutnya, Barat berlari dari masa lalunya, bahkan terlalu jauh, dengan ketakutan, layaknya orang berlari dari kematian. Hal ini dapat dipahami mengingat sejarah masa lalu Barat memang dipenuhi kompleksitas, yang dipandangnya dark age atau zaman kegelapan, kemudian diikuti oleh renaissance dan enlightenment,” tandasnya.
Rofiq menambahkan, konsep kemajuan yang diadopsi Muhammadiyah memiliki sifat yang distingtif dan unik, sehingga dapat ditarik garis demarkasi yang jelas dengan pemahaman kemajuan dalam pandangan dunia Barat.
Menurutnya, Muhammadiyah menekankan bahwa kemajuan bukan sekadar kemajuan material, melainkan mencakup keunggulan hidup secara lahiriah dan rohaniah. Definisi ini, lanjut Taufik, bersumber langsung dari nilai-nilai Qurani.
Salah satu konsep yang dijadikan landasan adalah al-Ihsan, yang disebut lebih dari seratus kali dalam Al-Quran. Misalnya dalam QS. al-Qashash ayat 77, Allah memerintahkan manusia untuk mencari kebahagiaan akhirat tanpa melupakan bagian dari kehidupan dunia. Ayat tersebut, menurutnya, mengajarkan bahwa keunggulan dunia tetap penting, namun orientasi tertinggi manusia adalah kehidupan akhirat. Konsep ihsan dengan demikian dapat dipahami sebagai fondasi gagasan kemajuan, yakni upaya sungguh-sungguh untuk melaksanakan kewajiban hingga melampaui batas minimal demi menghadirkan kualitas terbaik dalam kehidupan.
Selain ihsan, Rofiq juga menegaskan pentingnya konsep ar-rahmah sebagai dasar risalah Islam berkemajuan.
“Al-Quran menegaskan melalui ayat wa mā arsalnāka illā raḥmatan lil-‘ālamīn bahwa kemajuan dalam perspektif Muhammadiyah dipahami sebagai keberkahan dan kebaikan yang bersifat inklusif, melampaui batas identitas umat Islam, serta mencakup seluruh aspek kehidupan semesta,” pungkasnya.