MAKLUMAT — Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur tentang penggunaan sound horeg bukan hanya menyoroti aspek moral dan sosial, tetapi juga memberikan perhatian serius pada dampak kesehatannya. Dalam sidang Komisi Fatwa yang digelar pada 9 Juli 2025, salah satu bahasan utama adalah tingkat kebisingan yang dihasilkan sound horeg dan potensi bahayanya bagi pendengaran manusia.
Dokumen fatwa itu menyebut bahwa tingkat suara dari sound horeg dapat mencapai antara 120 hingga 135 desibel (dB), jauh di atas ambang batas aman yang direkomendasikan oleh World Health Organization (WHO), yaitu 85 dB untuk durasi paparan delapan jam. Makin tinggi desibel, makin pendek waktu aman paparan. Misalnya, pada 121 dB, batas aman hanya sekitar tujuh detik per hari, sedangkan pada 133 dB hanya 0,44 detik. Setelah melewati batas tersebut, risiko terhadap pendengaran meningkat secara signifikan.
“Intensitas kebisingan dari besaran desibel harus memperhatikan waktu batas paparan, seperti 85 dB selama 8 jam/hari, 88 dB selama 4 jam/hari, 91 dB selama 2 jam/hari, 94 dB selama 1 jam/hari, 100 dB selama 30 menit/hari, 121 dB selama selama 7, 03 detik/hari, 124 dB selama 3,52 detik/hari dan 133 dB selama 0,44 detik/hari,” tulis fatwa tersebut.
Dalam sidang tersebut, MUI menghadirkan seorang ahli THT dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga dan RSUD Dr. Soetomo, Prof. Dr. Nyilo Purnami, dr., Sp.T.H.T.B.K.L., Subsp.N.O (K).,FICS, FISCM yang menjelaskan bahwa kebisingan berlebih dapat menyebabkan gangguan pendengaran tipe sensorineural. Jenis gangguan ini terjadi akibat kerusakan pada struktur serabut saraf di telinga bagian dalam. Dalam kasus ekstrem, suara bising yang melebihi 120 dB dapat menyebabkan kematian sel koklea dan peningkatan ambang dengar yang bersifat permanen.
MUI menilai bahwa penggunaan sound horeg dengan intensitas suara seperti itu dapat menimbulkan kerusakan fisik, termasuk gangguan kesehatan jangka panjang seperti gangguan tidur, tekanan darah tinggi, gangguan kognitif, tinnitus, hingga masalah sosial. Oleh karena itu, dalam fatwa Nomor 1 Tahun 2025, penggunaan sound horeg dengan volume berlebihan yang membahayakan kesehatan dikategorikan sebagai perbuatan yang haram.
“Keberadaan sound horeg dapat menimbulkan berbagai dampak, baik positif maupun negatif. Beberapa dampak fositif seperti menumbuhkan ekonomi penyedia jasa sound horeg, penjaga parkir, penjual makanan dan lain-lain. Sedangkan dampak negatifnya meliputi gangguan pendengaran, kecemasan, gangguan aktifitas belajar, gangguan kesehatan dan potensi kerusakan bangunan akibat getaran,”tulis MUI.
Perspektif Maqashid Syariah
Fatwa ini juga menyitir prinsip-prinsip syariat tentang perlindungan jiwa dan akal. Dalam perspektif maqashid syariah, menjaga kesehatan termasuk bagian dari menjaga keselamatan jiwa, dan suara ekstrem yang merusak organ tubuh manusia dipandang sebagai bentuk kebinasaan yang wajib dihindari. Ayat Al-Qur’an yang menjadi dasar pertimbangan antara lain adalah QS. Al-Baqarah ayat 195: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu ke dalam kebinasaan.”
Dengan dasar tersebut, MUI Jawa Timur menyerukan agar penggunaan teknologi audio dilakukan secara bijak, tidak membahayakan orang lain, dan tetap dalam koridor etika serta hukum syariah. Fatwa ini menjadi peringatan bahwa kemajuan teknologi tidak boleh mengorbankan kesehatan dan hak warga untuk hidup di lingkungan yang tenang dan aman.***
Comments