MAKLUMAT — Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Timur mendesak pemerintah daerah segera mengambil langkah tegas mengatur penggunaan sound horeg. Dorongan itu tercantum dalam Fatwa Nomor 1 Tahun 2025 tentang Penggunaan Sound Horeg, yang MUI tetapkan pada 12 Juli 2025 di Surabaya.
Melalui bagian rekomendasi, MUI Jatim meminta Pemerintah Provinsi Jawa Timur menginstruksikan kepada pemerintah kabupaten dan kota untuk menyusun regulasi jelas terkait penggunaan alat pengeras suara, termasuk sound horeg. Regulasi tersebut mencakup perizinan, standar penggunaan, serta sanksi bagi pelanggaran dengan mempertimbangkan norma agama dan ketertiban umum.
“MUI meminta Pemerintah Propinsi Jawa Timur menginstruksikan kepada Pemerintah Kabupaten/Pemerintah Kota di Jawa Timur agar segera membuat aturan sesuai kewenangannya tentang penggunaan alat pengeras suara mulai dari perizinan, standar penggunaan, dan sanksi dengan mempertimbangkan berbagai macam aspek, termasuk norma agama,” tulis MUI dalam fatwa tersebut.
MUI menilai penggunaan sound horeg secara bebas telah memicu keresahan sosial. Sejumlah laporan masyarakat menyebutkan bahwa suara bising dari perangkat ini sering kali melebihi ambang batas aman, berlangsung hingga larut malam, dan kerap disertai aktivitas yang melanggar norma, seperti joget bebas campur antara laki-laki dan perempuan.
Selain menyasar pemerintah daerah, MUI juga merekomendasikan kepada Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia agar menunda atau tidak memberikan legalitas berupa Hak Kekayaan Intelektual (HKI) kepada pihak-pihak yang terkait dengan sound horeg, setidaknya hingga ada komitmen terhadap perbaikan tata kelola serta kepatuhan terhadap aturan hukum.
Fatwa ini muncul sebagai respons atas dinamika sosial yang berkembang di masyarakat Jawa Timur. Warga yang merasa terganggu dengan keberadaan sound horeg mengajukan permohonan fatwa kepada MUI, disertai petisi penolakan yang mendapat dukungan dari ratusan orang.
Kajian Komprehensif
Dalam proses penyusunan fatwa, MUI tidak hanya mengkaji aspek syariat dan sosial, tetapi juga melibatkan biro hukum Pemerintah Provinsi Jawa Timur, paguyuban pengusaha sound system, ahli medis, dan warga terdampak.
MUI menegaskan bahwa teknologi audio dapat memberikan nilai positif dalam kegiatan sosial dan budaya. Namun, jika penggunaannya melanggar hak orang lain, mengganggu ketertiban, atau merusak moral, maka negara wajib hadir melalui regulasi yang tegas.
Melalui fatwa ini, MUI Jatim menyampaikan bahwa penataan fenomena sound horeg tak cukup hanya dengan himbauan moral. Negara harus turun tangan agar prinsip syariat dan hukum positif bisa berjalan beriringan demi menjaga ketertiban serta kenyamanan hidup bersama.***
Comments