MAKLUMAT — Banyak sekali tulisan tentang kehidupan Nabi Muhammad baik dari kalangan muslim maupun non muslim. Di antara tulisan penulis muslim yang klasik dan otoritatif adalah Sirah al-Nabawiah karya Ibnu Hisham (wafat 833 M). Tulisan penulis non muslim di antaranya adalah Muhammad: Prophet For Our Time (2006) karya orientalis Inggris Karen Armstrong.
Karya yang paling popular, bahkan menjadi bagian dari ritual umat Islam adalah Kitab Maulid al-Barzanji yang ditulis Ja’far bin Hasan al-Barzani. Kitab ini sangat popular dan dibaca dalam berbagai perayaan saat kelahiran dan perataan Maulid Nabi pada Bulan Rabiul Awwal. Sebagian umat Islam membaca dari tanggal 1-12 Rabiul Awwal. Sebagian lainnya membaca sepanjang Bulan Rabiul Awwal.
Selain menjelaskan tentang keluarga, kepribadian, dan perjuangan, semua tulisan menjelaskan kunci sukses perjuangan dan kepemimpinan Nabi Muhammad adalah akhlaknya yang luhur. “Dan, sesungguhnya engkau (Muhammad) adalah seorang yang benar-benar berakhlak mulia’ (Qs. Al-Qalam [68]: 4). Akhlak Nabi Muhammad sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Aisyah Radliya Allah ‘Anha adalah Alquran.
Elite, Tidak Elitis
Dilihat dari silsilah keluarga, Nabi Muhammad adalah seorang yang elite. Nabi Muhammad adalah keturunan Bani Hashim dari suku Quraish yang memiliki kedudukan tinggi dan sangat dihormati. Dalam masyarakat Arab, silsilah keluarga sangat menentukan kehormatan dan penghormatan seseorang.
Masyarakat Arab jahiliah sangat bangga dengan keluarga dan golongan. Setiap tahun, bangsa Arab menyelenggarakan lomba bersyair yang berisi pemujaan terhadap leluhur. Masyarakat Arab seringkali terlibat perang antar suku.
Demi membela suku, mereka rela mati. Perang suku hampir terjadi ketika masing-masing kabilah bersikukuh meletakkan kembali Hajar Aswad ke Ka’bah. Para kepala suku sudah bersumpah dengan mencelupkan tangan ke dalam bejana yang berisi darah.
Peperangan dapat dihindari karena kebijaksanaan Muhammad muda yang mengajak semua kepala mengangkat bersama-sama Hajar Aswad yang diletakkan di atas sorban yang terbentang. Dalam masyarakat jahiliah, nasab tidak hanya menentukan kehormatan, tetapi juga nasib seseorang. Karena nasab, seseorang banyak mendapatkan keistimewaan dalam masyarakat.
Mengikuti teori piramida sosial, seorang dari kalangan ningrat, priyayi, atau darah biru adalah elite yang berada di puncak hirarki. Perbudakan dan feodalisme dalam masyarakat Arab jahiliah berakar pada persoalan trah atau nasab seseorang.
Meskipun berasal dari keluarga elit, Nabi Muhammad tidak elitis. Seorang ningrat yang tetap merakyat, sugih (kaya) yang tidak semugih, priyayi yang tidak mriyayi. Dalam Kitab Maulid al-Barzanji bab ke 18, Imam al-Barzanji menulis:
“Nabi Muhammad adalah seorang yang pemalu dan tawadhu, mau memperbaiki terompahnya sendiri, menjahit pakaian sendiri, memerah kambing, dan membantu keperluan (pekerjaan) dalam rumah tangganya.”
Walaupun berasal dari keluarga elite, Nabi Muhammad bergaul dengan siapa saja. Beberapa riwayat menyebutkan beliau justru lebih banyak bergaul dengan komunitas akar rumput, kaum lemah, masyarakat kelas bawah.
Nabi Muhammad disebut Abu al-Yatama antara lain karena kedekatan, cinta, dan pelayanan anak-anak yatim. Nabi Muhammad adalah pribadi yang memiliki empati dan kepedulian sosial yang tinggi. Dalam kaitan ini, Imam Al-Barzanji menulis; Beliau menyukai orang fakir dan miskin, suka duduk bersama, menjenguk yang sakit, mengantarkan jenazah, dan tidak pernah menghina seseorang betapa pun sangat miskin dan melarat.
Transformasi
Nabi Muhammad adalah uswah hasanah bagi manusia yang berharap rahmat Allah, percaya hari akhir, dan senantiasa ingat Allah (Qs. Al-Ahzab [33]: 21).
Disebut uswah hasanah (teladan yang baik) karena dalam diri Rasulullah terdapat keutamaan. Keutamaan ini melekat dan menjadi milik Nabi. Kedua, keteladanan itu menjadi sumber ajaran, nilai, dan inspirasi bagi kaum beriman yang senantiasa dekat dengan Allah.
Ketiga, berusaha mengikuti dan menginternalisasi nilai-nilai ajaran dan kepribadian Nabi sehingga manusia memiliki kepribadian utama serta meraih hasanah: kebahagiaan dan kesejahteraan dalam hidup. Dalam kehidupan yang serba hedonis dan materialistis manusia seringkali terjebak dan larut dalam arus kehidupan yang glamor, hidup mewah, megah, dan wah.
Manusia terlena dalam kebahagiaan fana dengan memamerkan harta. Banyak orang yang suka flexing demi gengsi dan harga diri. Bahkan, untuk itu, banyak manusia yang lupa diri, aji mumpung, dan menghalalkan segala cara mengejar kenikmatan dunia. Banyak orang yang tidak merasa malu menggunakan fasilitas yang bukan haknya. Empati dan simpati kepada yang papa dan menderita mulai sirna.
Sekarang ini, tidak sedikit orang yang mempertontonkan perilaku jahiliah dengan memanfaatkan dan memanipulasi silsilah dalam wujud nepotisme dan oligarki.
Kesederhanaan adalah sikap hidup yang sangat mulia. Seorang hidup sederhana bukan karena tidak berpunya, tetapi memilih untuk hidup secukupnya. ”Seseorang hidup sederhana dengan sikap qanaah dan zuhud, senantiasa bersyukur atas nikmat Allah dan merasa cukup dengan apa yang dimiliki.
Harta yang berlebih, disedekahkan buat sesama dan mereka yang membutuhkan. Nabi Muhammad adalah seorang yang berharta (sugih) tetapi tidak sok kaya (semugih). Dalam al-Barzanji disebutkan Nab Muhammad adalah seorang yang pemaaf, setia kawan, rendah hati, tetapi tidak rendah diri. Kalau berjalan lebih suka di belakang.
Nabi Muhammad adalah pemimpin yang melayani. Sosok pemimpin seperti ini, sekarang ini, sangat diperlukan. Pemimpin muslim , umat Muhammad, perlu menjadikan dirinya sebagai servant leader dan mengembangkan servant leadership yang dekat dan berpihak kepada kaum dhuafa, komunitas marginal yang seringkali terpinggirkan.
Semoga dengan peringatan Maulid Nabi, kita semua dapat meneladani dan mentransformasikan kehidupan Nabi, terutama sikap hidup sederhana, bersahaja, melayani, dan menghargai sesama.
*Tulisan ini diunggah di Suara Merdeka dan Muhammadiyah pada Kamis 5 September 2024