28.2 C
Malang
Jumat, September 20, 2024
OpiniNegarawan dan Makelar

Negarawan dan Makelar

Nur Cholis Huda

MAKLUMAT — Negeri ini didirikan para negarawan. Lihatlah para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Mulai Bung Karno, Bung Hatta, sampai Ki Bagus Hadikusumo, semuanya orang-orang yang berjiwa negarawan. Mereka hanya berpikir membangun negara yang baik untuk masa depan seluruh bangsa. Tidak berpikir untuk kepentingan pribadi, golongan atau kelompok. Mereka hanya berpikir bagaimana membangun negeri yang bisa menjadi negara yang tenteram bagi seluruh rakyatnya.

Dalam perjalanan upaya mendirikan negara yang tenteram itu, pernah terjadi perdebatan hangat tentang dasar negara. Maka semua itu bagian dari ikhtiar mendirikan negara yang damai dan tenteram bagi seluruh rakyatnya. Bukan untuk saling menguasai kelompok tertentu. Lalu mengesampingkan yang lain. Selalu menjaga kebersamaan. Itulah jiwa negarawan.

Namun, jiwa manusia itu tidak stabil. Tetapi labil. Bisa berubah. Kata Al-Quran: Fa alhamaha fujuraha wa taqwaha. “Maka aku masukkan pada jiwa manusia sifat curang dan takwa.” Dan kekuasaan itu selalu menimbulkan godaan. Maka, sifat takwa dikalahkan sifat curang atau dosa. Godaan kekuasaan menumbuhkan ingin terus agar kekuasaan itu ada dalam genggamannya.

Bung Karno ingin melestarikan kekuasaan lewat kharisma yang dimiliki. Maka lewat pidatonya, dia ciptakan semboyan-semboyan baru. Seperti JASMERAH, jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah; TAVIP, tahun vivere pericoloso atau hidup penuh bahaya, dan sebagainya, yang dianggap sebagai bagian dari ajaran Bung Karno. Dijadikan pedoman bangsa. Tapi semua itu tidak bisa melawan hukum perjalanan sejarah. Akhirnya kekuasaan yang dibangun Bung Karno lewat kharismanya harus berakhir. Dan akhir perjalanan bapak bangsa ini tidak menggembirakan.

Bung Karno digantikan Pak Harto. Dengan kekuatan tentara di tangannya Pak Harto ingin melestarikan kekuasaannya. Tetapi Pak Harto gagal mempertahankan kekuasaannya. Perjalanan sejarah terlalu kuat untuk ditundukkan. Tokoh yang banyak berbuat untuk menata ekonomi rakyat itu akhirnya harus turun.

Perjalanan para pendahulu kita ini hendaknya menjadi pelajaran. Jangan melawan hukum sejarah dengan keserakahan. Sifat serakah dan aji mumpung akan selalu berakhir dengan kegagalan. Bertanyalah pada hati Nurani apakah langkah kita masih berada dalam kewajaran atau sudah melangkah pada keserakahan.

Jika sudah pada tingkat keserakahan, maka berhentilah! Kita sedang menjauhi keberuntungan dan mengundang malapetaka. Tetapi keserakahan pada kekuasaan sering membutakan hati Nurani. Kita tidak tahu lagi mana batas keserakahan dan kewajaran. Akhirnya kita berjalan dan menerabas semua batas. Tidak ada Namanya keserakahan. Semua dianggap kewajaran.

Bagaimana jika bukan kita yang maju berkuasa, tapi kita berikan kepada orang kepercayaan kita, seperti anak atau famili? Apakah termasuk keserakahan? Jika itu yang kita lakukan maka nilai kita menjadi makelar. Atau makelar yang serakah. Maka kita mencarikan tempat untuk orang lain. Apa namanya kalua bukan makelar? Mungkin yang kita carikan tempat itu kawan kita, famili kita, kerabat kita atau anak kita. Siapa pun yang kita carikan jabatan itu, maka kita menjadi makelar.

Bagaimana kalau yang melakukan itu seorang pejabat atau penguasa? Sama saja. Namanya tetap makelar. Berarti banyak sekali pejabat menjadi makelar karena banyak pejabat mencarikan posisi untuk kerabatnya. Zaman ini adalah sebuah zaman di mana makelar muncul di mana-mana. Semua menjadi makelar. Mulai dari pejabat kecil sampai pejabat tinggi, bahkan seorang Presiden bisa menjadi makelar. Jika seorang penguasa menjadi makelar maka nalurinya hanya satu. Dia harus bisa menjadi makelar yang sukses.

Maka dengan segala cara makelar selalu mencari lubang lewat aturan yang ada yang bisa dijadikan jalan masuk bagi orang yang diperjuangkannya. Bila mengalami jalan buntu, maka dengan kekuasaan di tangan bila perlu melubangi jalan itu agar perjuangan sebagai makelar berhasil.

Tapi itu bukankah bagian dari ikhtiar untuk memperoleh kekuasaan? Setiap orang berhak memiliki jabatan apapun. Tetapi prosesnya harus sesuai aturan. Ingat bahwa negeri ini karunia yang mahal. Lalu didirikan oleh para negarawan. Dan para negarawan tidak pernah bermental makelar. Negarawan selalu berpikir membuat negeri ini nyaman bagi seluruh rakyat.

Indonesia merupakan karunia Tuhan yang mahal. Indah penuh pesona. Dibutuhkan tangan negarawan untuk mengelolanya. Bukan para makelar.

______________________

Nur Cholis Huda, penulis adalah Penasihat Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur

Tulisan ini sudah pernah ditayangkan dengan judul yang sama di Majalah MATAN Edisi 218: September 2024

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Lihat Juga Tag :

Populer