SUDAH lama saya tidak menulis sesuatu di luar tema olahraga, terutama sepak bola. Jadi, bagi kalian yang lebih terbiasa dengan tulisan olahraga dari saya, sebaiknya pertimbangkan dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya sebelum lanjut membaca tulisan ini.
Saya akan mengawali tulisan ini dengan pernyataan bahwa no viral no justice bukan fenomena baru. Hanya mediumnya yang baru: media sosial. Fenomenanya sendiri sudah lama, sejak demokrasi dipilih oleh banyak negara sebagai sistem pemerintahan.
Prinsip demokrasi, menurut filsuf Yunani Aristoteles, adalah kebebasan. Karena kebebasan itulah warga negara bisa terlibat mengontrol penguasa dalam menjalankan pemerintahan. Tanpa kebebasan itu, seperti era Orde Baru, ketidakadilan hanya berakhir menjadi kasak-kusuk. Tidak lebih.
No viral no justice itu bagaikan daun yang gugur dari pohon lalu berjatuhan ke tanah, bukan terbang ke langit. Sebab, pada dasarnya setiap penguasa dalam level apapun memiliki kesempatan menyalahgunakannya. Tanpa kontrol yang baik, maka silakan bermimpi agar dipimpin sang ratu adil. Utopis.
Sulit untuk tidak sepakat dengan guru besar sejarah modern dari Universitas Cambridge Lord Acton. Dia hidup pada abad ke-19, tapi adagiumnya masih relevan hingga kini. ”Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely.”
Fenomena no viral no justice tidak akan terjadi di negara yang warga negaranya percaya keadilan bisa terpenuhi. Regulasi dibuat dengan cara yang fair dan penegakan hukumnya berjalan adil. Sebaliknya, tatkala kepercayaan terhadap penegakan hukum rendah, maka publik akan berteriak lantang.
Nah, saat ini medium utama untuk berteriak paling lantang dan gesit penyebarannya adalah media sosial. Di masa sebelumnya, media massa yang memiliki kekuatan itu. Meski tentu saja melalui serangkaian mekanisme kurasi di meja redaksi.
Kini, media massa semakin tertinggal. Apalagi dengan fenomena media online yang kerap menjadikan media sosial sebagai sumber utama beritanya. Salah kaprah yang menjadikan jurnalisme berada di titik nadir. Tidak berlebihan apabila disebut sebagai senjakala media massa.
Kita bisa berdebat panjang soal itu, tapi nanti saja. Faktanya, dalam beberapa isu besar tanah air belakangan, dimulai dan dikendalikan oleh arus besar di media sosial, bukan di media massa. Penguasa lebih takut kepada media sosial, the power of netizen, ketimbang media massa.
Di masa pasca Orde Baru, sebelum media sosial merajalela, ketika ada isu besar yang merebak, pemerintah lazimnya mengumpulkan para pemimpin redaksi media mainstream. Kini, pemerintah lebih memilih berdiskusi dengan para influencer media sosial.
Kasus Mario Dandy yang melakukan penganiayaan biadab kepada David Ozora merupakan bukti nyata. Berawal dari penganiayaan itu kemudian melebar ke berbagai isu penyalahgunaan wewenang yang dilakukan di lingkungan kementerian keuangan.
Sebelumnya, ada drama epik Ferdy Sambo. Pada awalnya, internal Polri memuat pernyataan versi Sambo dkk yang sejatinya melawan logika dan akal sehat. Perlawanan keras dilakukan netizen. Dan kini kita tahu bagaimana akhir kisah dua sejoli yang bukan bernama Bonnie dan Clyde itu.
Selain itu ada kasus peneliti BRIN A.P. Hasanuddin. Bermula dari perdebatan soal penentuan Idul Fitri berujung kepada pengancaman menghalalkan darah warga Muhammadiyah melalui Facebook. Respons keras pun muncul dari warga Muhammadiyah.
Polisi terkesan lamban dalam penanganan kasus tersebut, begitu pula BRIN sebagai institusi tempat A.P. Hasanuddin bekerja. Maka, selain upaya pelaporan ke kepolisian setempat, gerakan media sosial pun dibangun untuk memviralkan kasus tersebut.
Ada masih banyak lagi kasus yang penegakan hukumnya baru berjalan lebih lancar setelah viral, setelah menjadi trending topic di Twitter. Terlalu panjang untuk saya jelaskan kasus per kasus dalam tulisan ini. Setidaknya tiga kasus itu bisa menggambarkan fenomena no viral no justice saat ini.
Namun, viral dulu baru ditangani bukanlah fenomena baru. Bedanya, sebelumnya peran itu dijalankan media massa seperti radio, televisi, dan koran, melalui kerja-kerja jurnalistik yang menekankan akurasi dan berada dalam koridor UU Pers serta kode etik jurnalistik.
***
Agaknya kita perlu menelusuri sejak kapan istilah viral mulai dipakai. Viral saat ini dimaknai sebagai konten, baik tertulis, gambar, maupun video, yang menyebar di banyak pengguna online dalam waktu singkat. Dengan begitu, ada banyak orang yang membicarakan dan menjadi perhatian publik.
Viral ini mirip dengan penyebaran epidemi, yang terjadi jika lebih dari satu orang terinfeksi oleh patogen, kemudian menularkannya kepada orang lain dan terus menyebar luas. Jadi, jika suatu konten dibagikan oleh lebih dari satu orang setiap kali dilihat, maka ini akan bertumbuh menjadi viral.
Konsep tentang viral pernah tertuang dalam buku berjudul ”Simulacra and Simulation.” Dalam karya yang terbit pada 1981 itu filsuf asal Prancis Jean Baudrillard menjelaskan bahwa reality show berjudul An American Family sebagai penanda era baru di mana televisi memiliki kehadiran yang ”viral, endemik, kronis, dan mengkhawatirkan.”
Namun, rumusan konsep viral yang mencakup istilah virus media atau media viral dilahirkan Douglas Rushkoff melalui karyanya yang terbit pada 1995, ”Media Virus: Hidden Agendas in Popular Culture”. Dia mendefinisikannya sebagai sejenis kuda troya. ”Orang-orang ditipu untuk menyampaikan agenda tersembunyi sambil mengedarkan konten yang menarik.”
Peneliti media asal Afrika Selatan Thomas Mofolo menggunakan gagasan Rushkoff untuk mendefinisikan viral sebagai jenis kesadaran kolektif virtual yang terutama bermanifestasi melalui jaringan media digital. Lalu, berevolusi menjadi tindakan di dunia nyata untuk menghasilkan realitas sosial baru.
Mofolo membangun definisinya berdasarkan penelitiannya terkait dengan pengguna media sosial yang terlibat dalam Arab Spring di Tunisia. Tentang bagaimana mereka memandang krusialnya Facebook dalam revolusi yang terjadi di negara itu.
Berdasarkan gagasan Baudrillard, Rushkoff, dan Mofolo, maka bisa kita pelajari bahwa konsep viral hadir seiring dengan keberadaan media. Sebab, bukan sekadar seberapa luas penyebaran sebuah informasi, melainkan juga kecepatan dalam penyebarannya.
Sebelum era media massa, penyebaran informasi hanya terbatas dalam beberapa area geografis yang kecil. Biasanya dari mulut ke mulut. Lalu surat melalui kantor pos dan koran membuat penyebaran informasi menjadi lebih cepat dan sedikit lebih luas.
Daya sebar dan kecepatannya bertambah seiring dengan adanya radio dan televisi. Kini, pada era internet, di mana dengan biaya murah orang bisa mengakses media sosial, membuat informasi bisa dibagikan dalam hitungan detik dengan penyebaran seantero bumi.
***
Kita bisa melihat no viral no justice sebagai sesuatu yang positif dari media sosial. Setidaknya bisa menjadi mekanisme kontrol terhadap kebijakan pemerintah. Namun, kita harus menyadari juga bahwa tidak semua hal yang viral itu adalah kebenaran.
Berbeda dengan media massa yang persebaran kontennya setelah melalui proses yang ketat. Memang, tetap ada kemungkinan bocor, tapi ada kode etik yang mengikat setiap jurnalis dalam menjalankan tugasnya menggali dan menyampaikan informasi ke publik.
Di media sosial, tidak ada kurasi. Setiap orang bisa membuat sebuah konten menjadi viral. Tentu saja ini berbeda dengan kerja-kerja jurnalistik. Apalagi saat ini media massa di tanah air ada keharusan untuk terverifikasi dan wartawannya diuji kompetensi oleh Dewan Pers.
Problemnya, dan ini seharusnya menjadi perhatian bagi setiap pengelola media adalah kecenderungan media massa untuk mengikuti secara mentah-mentah arus di media sosial. Apapun yang viral di media sosial dijadikan bahan pemberitaan.
Kualitas urusan nomor sekian, yang terpenting dan dihitung adalah jumlah klik. Kegilaan ini menjangkiti banyak petinggi media massa di Indonesia. Akibatnya, mereka membangun ekosistem negatif dalam ruang redaksi yang mengabaikan kualitas dan mengagungkan kuantitas.
Alhasil, melahirkan begitu banyak jurnalis berkacamata kuda. Sebab, tuntutan kepada mereka adalah menulis sebanyak-banyaknya. Tujuannya agar semakin banyak diklik. Pada titik ini, saya meyakini media massa, terutama online sedang berada pada senjakala.
Adalah kegilaan bagi saya ketika media online justru menjadikan media sosial referensi utama dan satu-satunya. Apakah layak sebuah tweet atau cuitan di Twitter menjadi sumber berita. Bisa layak bisa tidak. Itu semua bergantung kepada pemilik konten dan kualitas kontennya.
Misalnya, apabila konten itu keluar dari akun lembaga resmi, maka layak dikutip. Apabila disampaikan secara resmi oleh akun pejabat publik, bisa jadi layak kutip, tentu saja dengan konfirmasi. Bukan sembarang orang atau akun berkomentar lalu dijadikan berita.
Apalagi, meminjam kalimat dari Zen R.S, ”Yang berbahaya dari menurunnya minat baca adalah meningkatnya minat berkomentar.” Nah, minat tinggi untuk berkomentar itu yang membuat media sosial begitu riuh meski tanpa makna. Unfaedah. (*)
Mohammad Ilham, Penulis adalah Pemimpin Redaksi Maklumat.id