Novel Pesantren Pasir, Jejak Memori Dakwah Abdurrahim Nur

Novel Pesantren Pasir, Jejak Memori Dakwah Abdurrahim Nur

MAKLUMAT – Judul buku Pesantren Pasir mencuat pada acara Reuni dan Kajian Fajar Shodiq Nurul Azhar Porong yang bertajuk “Melacak Gagasan dan Merajut Tafsir Al-Qur’an Abdurrahim Nur dari Para Santri”, Ahad pagi (7/12/2025). Adalah Dr. Shalahuddin, salah satu murid Kiai Rahim -sapaan akrab KH. Abdurrahim Nur– yang menulis buku tersebut.

Pada acara yang berlangsung di Masjid Nurul Azhar Porong, Sidoarjo itu, Shalahuddin menceritakan bahwa buku ini berbentuk novel yang berisi secuil kisah dari samudra pergerakan Kiai Rahim, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur Periode 1987–2000.

Meski demikian, buku ini sebenarnya adalah proyek yang belum sepenuhnya selesai. Namun dalam waktu dekat, Shalahuddin berencana segera menerbitkannya. “Insya Allah tahun depan, semoga sesuai rencana,” ujarnya kepada wartawan Maklumat.id selepas acara.

Nderes Bersama Kiai Rahim

Shalahuddin menceritakan bahwa saat itu ia masih remaja ketika nderes bersama Kiai Rahim. Nderes adalah istilah dalam Bahasa Jawa yang berarti belajar. Kiai Rahim memang sering mengajak murid-muridnya untuk mempelajari banyak hal di Nurul Azhar Porong, yang kala itu masih berbentuk panti asuhan dan masjid.

“Waktu itu saya masih SMA, sering diajak ayah untuk nderes di situ. Mesti awalnya ogah ya, maklum namanya masih anak muda. Tapi dengan sosoknya yang memang karismatik, saya akhirnya larut juga,” kenang Shalahuddin.

Baca Juga  Sukadiono, Ketua PWM Jatim yang Kini Jadi Guru Besar Bidang Fisiologi Olahraga

Shalahuddin menjelaskan bahwa novel Pesantren Pasir adalah memorinya ketika berinteraksi dan belajar dengan Kiai Rahim. Baginya, itu merupakan momen-momen yang sangat mengesankan. Kiai Rahim sendiri sangat kaya perspektif. Ia pernah mondok di Pesantren Darul Ulum, Peterongan, Jombang, hingga di Pesantren Persis, Bangil, Pasuruan.

Selain pernah menjadi Ketua PWM Jatim, Kiai Rahim juga pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya hingga Wakil Ketua MUI Jatim. Jebolan Universitas Al-Azhar, Mesir itu bahkan pernah menarik perhatian Perdana Menteri Indonesia, Mohammad Natsir. Permintaan Natsir agar Kiai Rahim berkiprah di Jakarta pernah ditolak dengan alasan ingin berbakti kepada daerah kelahirannya.

Sosok Kiai Rahim juga dikenal berkat caranya memahami Al-Qur’an yang sangat rasional, bahkan dinilai terlalu rasional oleh sebagian orang di zamannya. Kendati demikian, pemikiran Kiai Rahim juga sangat sufistik, sesuatu yang pernah diulas oleh Prof. Biyanto, akademisi yang kini menjadi Sekretaris PWM Jatim.

Novel Pesantren Pasir

Shalahuddin menceritakan bahwa Kiai Rahim memiliki cita-cita membangun sebuah pondok pesantren. Kala itu, Nurul Azhar yang berbentuk yayasan telah mengelola kegiatan masjid, panti asuhan, pengajian tafsir Al-Qur’an, hingga pengajian bulanan Fajar Shodiq yang selalu diikuti ribuan jamaah.

Suatu hari, Kiai Rahim berencana membeli tanah milik warga di sekitar panti asuhan untuk mewujudkan pembangunan pesantren. Namun pemilik lahan memilih menjualnya kepada sebuah perusahaan yang berani menawarkan harga jauh lebih tinggi. “Ketika saya menemui aktivitas semacam pengeboran di lahan itu, saya kira pondoknya tidak jadi,” kenang Shalahuddin.

Baca Juga  Terlanjur Ciuman Saat Ramadan: Apakah Membatalkan Puasa?

Karena itu, Shalahuddin kemudian terinspirasi memilih judul Pesantren Pasir. Ia menggambarkan pasir sebagai sesuatu yang mudah berubah bentuk, sehingga merepresentasikan gagasan yang masih dalam tahap awal dan terus berkembang.

Pesantren Pasir dipandang sebagai cikal bakal harapan, sebuah keinginan yang menunggu untuk diwujudkan dengan lebih kokoh. Ia meyakini bahwa dari gagasan-gagasan tersebut akan lahir banyak pribadi yang membawa manfaat. Beberapa di antaranya bahkan sudah mulai terlihat, dan kini tinggal dinantikan perkembangannya dengan penuh optimisme.

Shalahuddin menjelaskan bahwa ia tidak mendampingi Kiai Rahim sejak awal perjalanan dakwahnya. Ia mulai berguru kepada Kiai Rahim pada periode tertentu dalam kehidupan sang kiai. Karena itu, dalam novelnya ia tidak bermaksud merekam seluruh perjalanan hidup Kiai Rahim, melainkan hanya menggambarkan masa ketika ia sendiri nderes dan belajar langsung kepada beliau.

“Saya kira momen yang sedikit itu penting untuk dibagikan kepada generasi hari ini. Bagaimana perjuangan beliau untuk berdakwah, bagaimana caranya, itu penting. Saya mengambil bentuk novel agar lebih mudah dibaca generasi hari ini,” pungkasnya.

*) Penulis: M Habib Muzaki

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *