OJK Perketat Pengawasan BPR, di Tengah Tantangan Modal Inti

OJK Perketat Pengawasan BPR, di Tengah Tantangan Modal Inti

MAKLUMAT – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Jawa Timur terus memperketat pengawasan terhadap kinerja Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di tengah dinamika keuangan daerah. Langkah ini untuk menjaga kesehatan lembaga perbankan skala kecil, sekaligus memastikan kebijakan konsolidasi dan pemenuhan modal inti berjalan sesuai tenggat waktu.

Menurut Nasirman, Kepala Direktorat Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan 1 OJK Jawa Timur, saat ini terdapat 267 BPR yang beroperasi di Jawa Timur. Jumlah itu terdiri atas 241 BPR konvensional dan 26 BPR syariah.

Namun jumlah itu menurun dari awal 2023 yang mencapai 276 lembaga. “Sebagian BPR telah dicabut izin usahanya atau dilikuidasi, terutama pasca-berlakunya Undang-Undang P2SK,” ujarnya di sela media gathering di Madiun, 17-18 Oktober 2025.

Penurunan tersebut bukan tanpa alasan. Salah satu kebijakan penting yang mendorong restrukturisasi industri ini adalah single presence policy (SPP).

Yakni kewajiban satu pemegang saham pengendali (PSP) hanya boleh memiliki satu BPR dalam satu pulau besar. Konsekuensinya, BPR dengan kepemilikan yang sama harus melakukan merger atau penggabungan usaha paling lambat April 2026.

Ciptakan Community Banking

“Di Jawa Timur, dari 267 BPR, terdapat 77 yang tergabung dalam 16 grup kepemilikan. Setelah proses konsolidasi, jumlah itu akan menyusut menjadi 12 lembaga karena BPR-BPR yang bergabung akan menjadi cabang dari satu entitas utama,” Nasirman menambahkan.

Bagi OJK, konsolidasi ini menjadi langkah strategis untuk memperkuat struktur perbankan rakyat sekaligus mendorong efisiensi operasional. Namun, prosesnya tidak mudah. Salah satu tantangan terbesar datang dari pemenuhan modal inti minimum sebesar Rp6 miliar yang harus tercapai pada Desember 2024.

Baca Juga  Izin Operasional Bank Syariah Matahari Sudah Terbit, Ini Imbauan PP Muhammadiyah

Nasirman memaparkan, di awal 2024 masih ada 33 BPR yang belum memenuhi ketentuan modal inti. Kini jumlah itu susut menjadi 29 BPR, dan hanya 9 di antaranya yang belum menunjukkan progres signifikan.

“Kami lakukan pemantauan ketat. Kalau hingga akhir 2025 tidak ada pemenuhan modal inti, maka OJK akan menerapkan ketentuan dalam POJK Konsolidasi BPR, termasuk opsi merger paksa atau akuisisi,” tegasnya.

Pengerak Keuangan Daerah

Langkah-langkah itu menunjukkan bagaimana OJK tidak sekadar menjadi regulator, tetapi juga penjaga stabilitas industri keuangan mikro di daerah. Melalui kebijakan ini, OJK berupaya menciptakan sistem yang lebih sehat, transparan, dan berdaya saing.

Menariknya, arah baru industri BPR pascakonsolidasi justru akan melahirkan model yang lebih modern: konsep branch banking.

“Ke depan, akan ada BPR yang berkantor pusat di Surabaya tapi memiliki cabang di Jakarta, Semarang, bahkan Manado. Ini transformasi besar dari konsep community banking menuju jaringan cabang yang lebih luas,” ungkap Nasirman.

Transformasi ini menjadi babak baru dalam peta perbankan rakyat di Jawa Timur. Di tengah tekanan regulasi dan tuntutan efisiensi, OJK berperan sebagai pengarah dan pengawas agar BPR tetap tumbuh sehat dan mampu beradaptasi dengan era konsolidasi keuangan nasional.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *