Ini bukan sekadar soal gagal bayar. Ini soal bagaimana istilah religius dijadikan tameng kepercayaan. Masyarakat yang lekat dengan nilai agama sering kali menjadi target empuk narasi “tanpa riba”, “halal”, “berkah”, dan “syariah” seolah semua itu cukup untuk membuat sebuah produk finansial aman.
Industri keuangan tetap berjalan dengan logika bisnis, risiko, pengawasan regulator, serta tata kelola yang baik. Label boleh syariah, tapi mekanisme tetap finansial. Risiko tetap risiko. Gagal bayar tetap mungkin terjadi dan publik tetap wajib kritis.
Dalam kasus DSI, kepercayaan publik diuji habis-habisan. Pembatasan Kegiatan Usaha dari OJK, penghentian imbal hasil sejak 6 Oktober 2025, hingga pernyataan-pernyataan penanganan yang tak kunjung memberi kepastian, hanyalah bukti bahwa label syariah tidak menawarkan imunitas dari masalah tata kelola.
Masalahnya bukan pada syariahnya. Masalahnya pada bagaimana syariah dijual sebagai branding (DSI menggunakan aktor Dude Herlino sebagai brand ambassador untuk menarik sebanyak-banyaknya lender). By the way sebagian besar masyarakat kita masih menempatkan kepercayaan di atas kehati-hatian. Banyak orang berani memasukkan dana puluhan juta hanya karena tergiur narasi “berkah” tanpa pernah membaca perjanjian, tanpa memahami model bisnis, dan tanpa menilai risiko peminjam.
Sikap seperti ini bukan hanya membahayakan diri sendiri, tapi memperbesar peluang industri serupa kembali menyasar korban. Di titik inilah publik perlu membangun ulang cara berpikir soal investasi, yakni iman tidak menggantikan analisis, dan syariah tidak boleh dijadikan selimut untuk menidurkan kewaspadaan.
Lalu bagaimana dengan saya sendiri? Apakah saya punya pengalaman buruk dengan investasi label syariah? Jawabannya tidak, meski hampir saja saya terjebak dengan label syariah. Ini karena saya lebih percaya berinvestasi syariah dengan memilih cara aman, yakni membeli SBN (Surat Berharga Negara) seperti sukuk ritel serta sukuk tabungan yang dikelola secara syariah dan diterbitkan Kementrian Keuangan.
Mengapa SBN sangat aman? Ya, karena dijamin langsung oleh pemerintah, bebas risiko gagal bayar, dan pembayarannya dijamin undang-undang. Risiko yang ada umumnya lebih terkait pergerakan pasar sekunder (risiko likuiditas dan suku bunga) jika dijual sebelum jatuh tempo, bukan risiko pemerintah gagal bayar, menjadikannya fondasi investasi yang stabil dan cocok untuk jangka panjang atau diversifikasi.
Ini karena dana yang dibayarkan berasal dari APBN yang dijamin negara, berbeda dengan instrumen lain. Selain itu, pajak lebih rendah. Pajak atas kupon SBN (10%) lebih rendah dibandingkan deposito (20%). Alhamdulillah saya sudah menikmati passive income dari cara ini selama bertahun-tahun.
Meski saya tidak memiliki pengalaman buruk berinvestasi dengan label syariah, bukan berarti saya tidak pernah punya pengalaman buruk terkait investasi konvensional (non-syariah). Ya, saya pernah terbuai dengan investasi konvensional bodong dengan iming iming bagi hasil menggiurkan secara instan. Meski jumlahnya menurut saya tidak terlalu banyak, tapi tetap saja kata orang jawa eman alias sayang sekali.
Hal ini saya jadikan pelajaran berharga agar cerdas berinvestasi. Iming iming bagi hasil sangat besar dengan cara instan dijamin pasti bohong! Kembali lagi ke DSI, kasus ini seharusnya menjadi ruang belajar kolektif. Publik butuh panduan praktis agar tidak jatuh ke lubang yang sama.
Berikut Langkah-langkah Konkret agar Masyarakat Bisa Berinvestasi Secara Aman:
1. Periksa Legalitas & Status Pengawasan
Bukan cukup “terdaftar”—harus punya izin usaha dan diawasi OJK. Pastikan statusnya di regulasi terbaru, bukan sekadar klaim di situs atau brosur.
2. Baca Mekanisme Bisnisnya, Jangan Cuma Labelnya
Apakah produknya pembiayaan? Peer-to-peer lending? Sukuk? Reksadana syariah? Setiap instrumen punya risiko berbeda. Jangan melangkah sebelum paham cara kerjanya.
3. Kenali Risiko yang Sebenarnya
Investasi syariah tetap memiliki risiko gagal bayar, risiko pasar, risiko proyek, bahkan risiko fraud. Syariah bukan jaminan, melainkan metode transaksi.
4. Cek Rekam Jejak Pengelolanya
Siapa direksi dan komisarisnya? Apa latar belakang bisnisnya? Apakah pernah terlibat kasus serupa? Dalam industri berisiko tinggi, trust dibangun dari pengalaman, bukan narasi religius.
5. Jangan Taruh Semua Telur di Satu Keranjang
Diversifikasi wajib. Jangan letakkan semua dana pada satu platform, satu produk, atau satu proyek. Ini prinsip syariah juga menghindari mudarat yang lebih besar.
6. Teliti Alur Dana & Proyek
Jika pembiayaannya properti, telusuri apakah lokasi proyek jelas, siapa developer, bagaimana prospeknya. Jika tidak transparan dari awal, itu sinyal bahaya.
7. Gunakan Prinsip Syariah yang Sejati: Transparansi & Kehati-hatian
Syariah bukan sekadar bebas riba—tapi juga akad jelas, risiko dipahami, informasi terbuka, dan pengelolaan amanah. Kalau prinsip ini tidak terlihat dalam praktiknya, tinggalkan.
8. Ikuti Forum Diskusi & Edukasi Keuangan
Banyak literasi finansial syariah dari akademisi, DPS, dan lembaga resmi yang bisa jadi referensi. Kesadaran adalah perlindungan terbaik.
9. Jangan Percaya pada Iming-Iming “Pasti Aman”
Dalam investasi, kata “pasti” itu palsu. Yang ada hanyalah perkiraan, risiko, dan pengawasan.
Kasus DSI bukan akhir dari industri keuangan syariah. Tetapi ini harus menjadi Pelajaran. Jangan jadikan label sebagai pembenaran untuk mematikan akal sehat. Yang syariah itu bukan sekadar nama perusahaan, melainkan bagaimana amanahnya harus dijaga.
Sampaikan kritik jika menemukan penyimpangan, karena syariah adalah hukum Allah yang harus ditegakkan dengan benar, bukan sekadar label jualan! Syariah adalah hukum Allah yang komprehensif, sehingga label syariah harus diiringi dengan penerapan nilai-nilai dan prinsipnya secara utuh dan benar, bukan untuk tujuan komersial yang menyesatkan.
Selamat Berinvestasi…