MAKLUMAT — Tenggelamnya Kapal Motor Penyeberangan (KMP) Tunu Pratama Jaya di Selat Bali pada Rabu malam, 2 Juli 2025, menjadi peringatan keras atas masih lemahnya sistem keselamatan pelayaran di Indonesia. Kecelakaan ini tidak hanya merenggut nyawa, namun juga menggugah publik untuk menyoroti kembali celah dalam manajemen transportasi laut antarpulau yang selama ini luput dari perhatian serius.
Pakar transportasi laut dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Dr. Ing. Ir. Setyo Nugroho, menegaskan bahwa mayoritas kecelakaan kapal—termasuk tragedi KMP Tunu Pratama Jaya—berakar pada kelalaian manusia. “Hampir 90 persen kecelakaan laut terjadi karena human error,” ujar Setyo seperti dilansir laman ITS dikutip pada Jumat (4/7/2025).
Ia menambahkan, penyebab utama kelalaian manusia pada insiden semacam ini berkaitan dengan pengelolaan muatan yang buruk. Dari data yang dikaji, sebanyak 80 persen kelalaian manusia dipicu oleh kesalahan dalam penanganan dan distribusi muatan di atas kapal. “Stabilitas kapal sering kali tidak diperhitungkan dengan benar, dan itu sangat fatal,” tegas Dekan Fakultas Teknologi Kelautan ITS itu.
KMP Tunu Pratama Jaya sendiri, menurut Yoyok, kemungkinan besar mengalami kombinasi dari sejumlah faktor risiko: mulai dari cuaca ekstrem, prosedur operasional yang menyimpang, hingga kondisi mesin yang tidak layak operasi. Semua faktor tersebut saling bertaut dan memperbesar kemungkinan kecelakaan.
“Gelombang tinggi akibat cuaca yang tidak menentu dapat mengganggu stabilitas kapal, apalagi jika muatannya tidak tertata sesuai standar,” katanya. Ia menekankan bahwa fenomena alam tidak bisa dicegah, namun efeknya bisa diminimalisir jika kapal dikelola dengan baik.
Evaluasi Standar Pelayaran
Melihat kompleksitas penyebab tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya, Yoyok mendesak pemerintah dan pelaku industri pelayaran untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap standar operasional pelayaran nasional. Evaluasi tersebut mencakup prosedur pemuatan, pemeliharaan kapal, manajemen navigasi, hingga digitalisasi pengelolaan muatan.
Yoyok sendiri telah mengembangkan aplikasi digital bernama iStow, yang mampu menghitung distribusi muatan secara real-time. Aplikasi ini dirancang untuk membantu awak kapal menghindari kesalahan penataan muatan yang bisa menyebabkan kapal oleng atau tenggelam.
Inovasi ini juga menjadi bagian dari kontribusi akademik dalam mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya pada poin ke-9 (industri, inovasi, dan infrastruktur) serta ke-14 (ekosistem laut).
Tragedi KMP Tunu Pratama Jaya, kata Yoyok, bukan hanya duka kemanusiaan, melainkan peringatan nasional atas lemahnya integrasi keselamatan dalam sistem pelayaran kita. Ia berharap perguruan tinggi dan institusi riset turut bersuara lebih lantang dalam membangun sistem keamanan laut yang tangguh dan berbasis inovasi.
“Sudah waktunya kita tidak hanya berbicara tentang insiden, tapi mencegahnya sejak jauh hari,” pungkasnya.