Pakar Pendidikan Sholihin Fanani: Pendidikan Barak Militer Bukan Solusi Terbaik untuk Atasi Problematika Anak

Pakar Pendidikan Sholihin Fanani: Pendidikan Barak Militer Bukan Solusi Terbaik untuk Atasi Problematika Anak

MAKLUMAT — Metode pembinaan anak-anak yang dianggap “anak nakal” melalui model pendidikan ala barak militer menuai kritik dari Pakar Pendidikan Jawa Timur, Dr M Sholihin Fanani. Ia menegaskan bahwa pendekatan tersebut tidak tepat dan justru berpotensi menimbulkan trauma jangka panjang bagi anak.

“Pertama, saya kurang setuju dengan istilah ‘anak nakal‘. Jadi sebenarnya tidak ada anak yang nakal, yang ada itu kan anak itu butuh proses, jangan distigma bahwa anak kalau sudah berperilaku seperti itu terus dibilang anak nakal, jangan kemudian sedikit-sedikit langsung distigma nakal. Hati-hati tidak boleh menstigma itu,” ujar Sholihin kepada Maklumat.id, Selasa (20/5/2025)

Menurutnya, label ‘nakal’ sering kali digunakan secara serampangan tanpa mempertimbangkan faktor perkembangan anak secara utuh. Ia menekankan bahwa ada anak yang mungkin mengalami keterlambatan belajar (slow learner) atau kurang perhatian, dan semua itu adalah bagian dari proses tumbuh kembang yang harus dipahami oleh pendidik maupun orang tua.

Ia juga mengkritisi solusi instan seperti mengirim anak ke barak militer. “Saya tidak sependapat kalau kemudian anak yang tadi dikategorikan nakal kemudian dibina di barak militer, karena itu kan berarti kita sudah men-judge, padahal anak itu kan butuh proses, pendidikan itu sebuah proses, proses untuk didik diri yang terencana, terpadu, dan berkesinambungan, ini tidak boleh dihilangkan,” tambahnya.

Baca Lainnya  Suli Da'im Ajak Kader IMM Berdiaspora ke Semua Lini Kehidupan

Sholihin menilai bahwa pembinaan dalam barak militer bersifat sesaat dan tidak mencerminkan nilai-nilai pendidikan yang sejatinya berlangsung panjang dan terus-menerus. Ia mengutip prinsip dalam Islam yang menyatakan bahwa proses belajar berlangsung dari buaian hingga liang lahat, atau minal mahdi ilal lahdi.

“Misalnya sekarang di SMA-nya, misalnya maaf, kaitannya tadi mungkin dianggap tidak pintar atau seperti apa perilakunya dianggap nakal. Belum tentu lho, nanti bisa misalnya waktu kuliahnya itu berubah, itu masih panjang, ada semester satu sampai semester delapan, lalu ada S2, dan sebagainya, jadi itu pendidikan memang juga suatu proses yang panjang,” tekannya.

Dalam pandangannya, kegagalan memahami bahwa pendidikan adalah sistem yang kompleks juga berkontribusi pada keliru dalam menangani anak-anak. Ia mengingatkan bahwa pendidikan melibatkan segitiga emas, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketiganya harus dianalisis secara menyeluruh.

“Segitiga emas ini ketiganya ini harus dianalisa, bagaimana pola asuh di keluarganya? Bagaimana hubungan orang tua dengan anaknya? Kemudian sekolahnya, bagaimana pola pendidikan yang diterapkan? Apakah hanya berorientasi pada hasil atau nilai atau yang bersifat angka, tidak berorientasi pada pembentukan karakter atau perilaku, atau tidak menghargai setiap perkembangan anak?,” paparnya.

Ia juga mengangkat pandangan Imam Al-Ghazali mengenai empat faktor pembentuk perilaku: agama, ilmu pengetahuan, lingkungan, dan masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa pembentukan karakter anak membutuhkan pendekatan yang multidimensional, bukan hukuman semata.

Baca Lainnya  Jelang Isra Miraj, UAH: Perjalanan Fisikal, Intelektual, dan Spiritual

“Disiplin itu tidak bisa secara instan, disiplin itu kan kebiasaan, pembentukan karakter tadi itu bisa. Dan disiplin itu tidak hanya masalah waktu, disiplin ini adalah penanaman nilai-nilai dari sekolah, nilai-nilai kebersamaan, toleransi, bagaimana dia memiliki empati kepada orang lain, itu semua juga bagian dari disiplin,” tegasnya.

Sholihin menegaskan bahwa pendidikan harus memberi ruang untuk pertumbuhan dan perubahan. Menurutnya, membiasakan nilai-nilai dan memberikan teladan adalah cara yang lebih tepat dalam membentuk kepribadian anak.

“Kepribadian dan kebiasaan anak-anak, apa yang dibiasakan untuk anak, ini adalah penanaman nilai. Nah penanaman nilai-nilai ini kan perlu dibiasakan, perlu diawasi, perlu dikontrol, dan yang lebih penting itu diberikan contoh. Apakah guru-guru, apakah orang tua, apakah masyarakat itu telah menjadi bagian yang bisa memberikan contoh atau teladan yang terbaik untuk anak-anak?” tekannya.

Mengirim anak ke barak militer, tegasnya, bukanlah solusi, bahkan justru dapat membekas secara psikologis. Ia mengingatkan akan dampak jangka panjang dari stigma dan perlakuan yang salah terhadap anak.

“Itu akan menimbulkan trauma bagi anak-anak, trauma yang bisa jadi akan berkepanjangan secara psikologis, tidak malah membuat anak menjadi baik. Kemudian yang paling berbahaya itu adalah men-stigma bahwa anak di situ nakal, secara tidak langsung kan itu sama dengan dipenjara dia di sana, dihukum dia, dipaksa dia datang ke sana, dan dia akan dihakimi seumur hidupnya. Itu kan menyakitkan secara psikologis. Dan itu sangat berbahaya kalau sampai anak mengalami trauma,” jelasnya.

Baca Lainnya  Mendikdasmen Abdul Mu'ti Tegaskan 3 Komitmen untuk Tingkatkan Kualitas Guru

Meski begitu, Sholihin tidak menutup kemungkinan adanya kerja sama dengan pihak luar, termasuk militer, selama fungsinya edukatif dan bersifat pelengkap, bukan sebagai bentuk penghukuman. “Kalau untuk memanggil pihak-pihak luar diundang ke sekolah, termasuk militer, itu masih mungkin, karena untuk memberikan contoh, misalnya baris-berbaris, dan semacamnya,” tandasnya.

*) Penulis: M Habib Muzaki

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *