PAKAR pakar hukum dan lingkungan sepakat rencana pemerintah membuka tambang batu andesit di Wadas, Purworejo penuh ”dosa”. Hal itu karena merugikan rakyat yang tinggal di sekitarnya. Proyek yang dipaksakan pemerintah ini melanggar konstitusi karena pemerintah sebagai pengemban amanah negara tidak menjamin warga Desa Wadas untuk mempertahankan hak hidup dan kehidupannya.
”Itu adalah dosa pertama, melanggar pasal 28 a, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” ujar Herlambang P. Wiratraman dari Law and Justice, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Kamis (31/8).
Dalam media brifing bertajuk ”Mengungkap Realitas Keadilan di Desa Wadas” di Kantor PP Muhammadiyah itu, pakar hukum tata negara tersebut menyebutkan ada 10 dosa yang dilakukan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Calon presiden dalam Pemilu 2024 ini adalah orang nomer satu di Jawa Tengah yang bertanggung jawab untuk melaksanakan proyek strategis negara (PSN) Bendungan Bener yang menggunakan batu andesit dari Wadas sebagai materialnya.
Sembilan dosa lainnya adalah negara membiarkan kekerasan terjadi pada anak-anak, melumpuhkan pemenuhan kebutuhan dasar warga Wadas, tidak ada jaminan atas hak memperjuangkan penolakan tambang yang merusak mimpi bersama warga Wadas, tidak diakui, dijamin dan dilindungi dalam hukum yang adil dan diperlakukan berbeda karena menolak PSN, melanggar hak warga berkomunikasi karena mematikan layanan internet, gagal memberikan hak atas rasa aman karena membiarkan aksi premanisme meneror warga, gagal melindungi hak milik pribadi dan hak yang tidak boleh diambil secara sewenang-wenang, dan terakhir gagal melindungi, memajukan, menegakkan, dan memenuhi hak asasi manusia.
”Perkenankan saya untuk menegaskan bahwa apa yang terjadi di lapangan ini menyempurnakan bahwa mereka tidak sekedar melanggar hukum tetapi melanggar konstitusi,” tegas Herlambang.
Sedangkan Sri Palupi, peneliti dari The Ecosoc Right Institute menegaskan banyak kejahatan hak asasi manusia (HAM) terjadi pada proses pembangunan bendungan di Indonesia dan di berbagai negara. Di Wadas kehidupan warga diserobot dan diintegrasikan dengan projek bendungan yang sebenarnya merupakan dua hal berbeda (pembangunan bendungan dan pertambangan batu andesit). ”Ini semena-mena karena warga dianggap tidak ada,” ujarnya.
Sri Palupi mengatakan fakta buruk yang menyertai setiap pembangunan bendungan adalah target besaran energi dan wilayah irigasi tidak mencapai target; secara ekonomi dan ekologis, bendungan tidak layak karena mudah terancam endapan sehingga butuh biaya besar untuk mengeruknya; projek pembangunan bendungan jadi sarang korupsi dan pelaksanaannya tidak transparan; bendungan menciptakan banyak bencana ekologis dan kemanusiaan; manfaat bendungan lebih banyak dinikmati masyarakat kota dan industri dari pada masyarakat desa yang terdampak langsung.
Dia menjelaskan saat ini ada sekira 47 ribu bendungan di seluruh dunia. Karena menyebabkan banyak bencana dan pelanggaran ham, Komisi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membuat panduan dan prinsip penggusuran akibat pembangunan.
Dari penelitiannya tentang pembangunan empat bendungan di Indonesia (Jatigede di Jawa Barat, Karian di Banten, Nipah di Jawa Timur, dan Jelantar di Jawa Tengah), Sri Palupi mengatakan pemerintah tidak menjalankan panduan dari Komisi HAM PBB dan melanggar berbagai peraturan yang terkait dengan pembuatan bendungan.
David Effendi dari LHKP PP Muhammadiyah mengatakan pemerintah saat ini tidak mau mendengarkan berbagai kritik dari masyarakat dan para ahli. Ini menunjukkan kualitas demokrasi di Indonesia mengalami regresi.
”PSN adalah proyek otoritarian dengan janji mitos menyejahterakan rakyat,” ujarnya.
Sementara itu, warga Wadas, Susi Mulyani mengatakan pada awalnya warga Wadas tidak pernah diajak bicara soal rencana tambang andesit di desanya. Setelah mengetahui rencana itu warga secara konsisten menolak tambang karena akan kehilangan mata air, kehilangan mata pencaharian karena tanahnya dirampas pemerintah, dan masa depan yang jelas.
“Kami sudah menolak dan melakukan berbagai cara tetapi entah mengapa pemerintah tidak mau mendengarkan keluh kesah kami. Kami hanya ingin tanah kami utuh,” ujar anggota Wadon Wadas itu.
Talabudin, warga Wadas menjelaskan situasi terakhir di Wadas di mana Kantor Pertanahan Kabupaten Purworejo terus memaksa warga agar menyerahkan tanahnya jika tidak ingin dikonsinyasi. Terakhir, Kantor Pertanahan Kabupaten Purworejo memaksa warga agar hadir dalam pertemuan di Balai Desa Wadas untuk membahas besaran nominal ganti rugi, Kamis (31/8).
Selain itu Talabudin juga menjelaskan tanah milik beberapa warga yang menolak tambang ternyata ada yang ikut diukur dan dimasukkan ke tanah milik warga yang setujua tambang. Warga penolak tambang minta Kantor Pertanahan Kabupaten Purworejo sebagai penyedia tanah agar mengembalikan dalam bentuk tanah. Namun hingga saat ini kasus ini belum selesai.
Raudatul Jannah (Nana) dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta sebagai kuasa hukum warga Wadas mengatakan pihaknya sudah melakukan beberapa upaya hukum karena sejak awal rencana tambang andesit di Wadas. Hasilnya, tidak ada yang berpihak kepada warga Wadas.
”Kita melihat sejak awal sampai saat ini proses pertambangan (andesit) itu sudah maladministrasi, salah prosedur dan menggunakan peraturan undang-undang yang asal terobos saja,” ujarnya.
Sementara itu Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas dalam sambutannya mengatakan pemaksaan tambang di Wadas adalah sebuah tragedi kemanusiaan yang melanggar hak asasi manusia. Proyek iini dipaksakan dari pusat hingga ke daerah.
”Kami akan terus melakukan langkah-langkah yang adab untuk menghadapi kekerasan politik dan terorisme politik yang makin jauh dari adab,” tegasnya. (*)
Reporter: Ubay NA
Editor: Aan Hariyanto