MAKLUMAT — Di tengah pusaran konflik berkepanjangan yang tak kunjung reda, nama Palestina terus bergema di telinga umat manusia. Bukan semata karena deru peperangan atau kepiluan para pengungsi, melainkan karena tanah ini menyimpan historisitas yang tidak bisa dihapuskan dari memori sejarah dunia. Palestina bukan sekadar wilayah geografis, tetapi sebuah entitas historis, religius, dan kemanusiaan yang jejaknya telah terpatri sejak ribuan tahun silam. Negeri ini adalah saksi bisu perjalanan peradaban manusia, titik temu agama-agama samawi, dan medan ujian bagi nurani kemanusiaan hingga hari ini.
Palestina dalam Lintasan Sejarah
Sejarah mencatat bahwa Palestina telah dihuni sejak zaman prasejarah. Wilayah ini menjadi jalur strategis antara Mesir dan Mesopotamia, dua pusat peradaban besar dunia kuno. Nama Palestina sendiri berasal dari kata Philistia, merujuk kepada bangsa Filistin yang menempati kawasan pesisirnya pada abad ke-12 SM. Namun jauh sebelum itu, berbagai komunitas manusia telah mendiami wilayah ini, membangun kehidupan, dan meninggalkan warisan arkeologis yang membuktikan keberadaan mereka.
Dalam catatan agama-agama Ibrahimik—Yahudi, Kristen, dan Islam—Palestina memiliki posisi yang istimewa. Kota Yerusalem (al-Quds) yang berada di jantung Palestina menjadi tempat suci bagi ketiganya. Bagi umat Yahudi, Yerusalem adalah lokasi Bait Suci dan pusat kerohanian. Bagi umat Kristiani, kota ini adalah saksi kehidupan, penyaliban, dan kebangkitan Yesus Kristus. Sementara bagi umat Islam, Yerusalem menjadi kiblat pertama sebelum Ka’bah di Makkah dan tempat terjadinya peristiwa Isra Mi’raj Nabi Muhammad Saw.
Sejarah Palestina adalah sejarah tentang keberagaman dan ketegangan, tentang penjajahan dan perlawanan, tentang harapan dan kegetiran. Berbagai imperium silih berganti menguasai tanah ini: mulai dari Mesir kuno, Asyur, Babilonia, Persia, Yunani, Romawi, hingga Bizantium. Pada abad ke-7 M, pasukan Muslim di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab berhasil membebaskan Yerusalem secara damai. Sejak saat itu, Palestina menjadi bagian integral dunia Islam, meski tetap menjadi rumah bagi komunitas agama-agama lain.
Palestina, Agama, dan Kemanusiaan
Bila kita berbicara tentang Palestina, sejatinya kita sedang berbicara tentang sejarah umat manusia itu sendiri. Palestina adalah simbol tentang bagaimana manusia dari latar belakang agama dan budaya berbeda dapat hidup berdampingan. Di masa pemerintahan Islam, khususnya pada era Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, Palestina berkembang menjadi pusat intelektual dan spiritual. Masjid Al-Aqsa dan Kubah Shakhrah (dome of the rock) berdiri megah, bersandingan dengan gereja dan sinagoga yang tetap dibiarkan hidup dalam toleransi.
Namun sejarah juga mencatat babak-babak kelam, khususnya saat Perang Salib terjadi pada abad ke-11 hingga ke-13 M. Pasukan Kristen Eropa merebut Yerusalem dengan kekerasan, menumpahkan darah atas nama agama, sebelum akhirnya pasukan Muslim di bawah kepemimpinan Salahuddin al-Ayyubi berhasil merebutnya kembali dengan pendekatan yang lebih beradab. Salahuddin dikenal memberi pengampunan kepada warga sipil dan membebaskan umat Kristiani untuk tetap beribadah di tanah suci tersebut. Peristiwa ini menjadi salah satu contoh penting dalam sejarah kemanusiaan tentang etika perang dan penghormatan terhadap keberagaman agama.
Modernisme, Kolonialisme, dan Luka
Memasuki era modern, luka Palestina semakin dalam. Saat kekuasaan Ottoman berakhir pasca Perang Dunia I, Inggris mengambil alih wilayah ini di bawah mandat Liga Bangsa-Bangsa. Ironisnya, Inggris justru membuka jalan bagi berdirinya negara Israel melalui Deklarasi Balfour 1917, yang menjanjikan tanah Palestina bagi kaum Zionis. Sejak saat itu, ketegangan berubah menjadi konflik terbuka.
Tahun 1948 menjadi titik tragis bagi rakyat Palestina. Deklarasi kemerdekaan Israel di atas tanah Palestina memicu perang, pengusiran massal, dan eksodus besar-besaran yang disebut nakba (malapetaka) oleh warga Palestina. Lebih dari 700.000 orang terusir dari kampung halamannya, menjadi pengungsi di berbagai negeri.
Hingga hari ini, Palestina masih menjadi potret nyata ketidakadilan dunia modern. Meski PBB telah menetapkan resolusi demi resolusi, realitas di lapangan berbicara lain. Blokade, pendudukan ilegal, perampasan tanah, dan kekerasan terhadap warga sipil terus terjadi. Dunia menyaksikan, namun seringkali memilih diam.
Cerminan Nurani Kemanusiaan
Palestina bukan hanya soal geopolitik Timur Tengah. Palestina adalah soal nurani kemanusiaan universal. Ketika sebuah bangsa selama lebih dari tujuh dekade hidup dalam penjajahan, terusir dari tanah kelahirannya, dan diperlakukan sebagai warga kelas dua di tanah sendiri, maka persoalan ini bukan lagi milik Muslim semata, tetapi soal hak asasi manusia.
Negeri ini telah menjadi cermin bagaimana dunia memperlakukan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan solidaritas. Bagi umat Islam, membela Palestina bukan semata karena ikatan agama, tetapi karena ajaran Islam mewajibkan untuk menegakkan keadilan bagi siapa pun yang tertindas. Sebagaimana pesan Nabi Muhammad SAW: “Tolonglah saudaramu, baik ketika ia dizalimi maupun ketika ia menzalimi.”
Palestina Milik Sejarah Dunia
Histori Palestina adalah histori umat manusia. Ia bukan hanya catatan dalam kitab suci atau buku sejarah, tetapi juga ingatan kolektif dunia tentang nilai, peradaban, dan kemanusiaan. Negeri kecil ini mengajarkan bahwa tanah, meski sejengkal, bisa menyimpan sejuta makna. Dan selama nurani kemanusiaan masih hidup, selama nilai keadilan masih dijunjung, maka Palestina akan tetap menjadi bagian dari hati dunia.
Membela Palestina bukan sekadar soal politik luar negeri atau agenda agama. Ini soal keberpihakan kita terhadap nilai paling mendasar dalam hidup: kemanusiaan.