Pancasila Menjadi Kompas Ideologis dan Etika Publik Bernegara

Pancasila Menjadi Kompas Ideologis dan Etika Publik Bernegara

MAKLUMAT — Peringatan kelahiran Pancasila setiap 1 Juni bukanlah sekadar seremonial. Jadikan momentum tersebut sebagai komitmen nilai dan moral kebangsaan untuk merefleksikan kembali jati diri Indonesia sebagai bangsa yang berlandaskan Pancasila.

Di tengah dinamika zaman, Pancasila harus senantiasa menjadi kompas ideologis dan etika publik dalam kehidupan bernegara. Sebab pada dimensi ini kehidupan bernegara masih memiliki titik lemah. Kita harus jujur mengakui korupsi, ketimpangan sosial, penyalahgunaan kekuasaan, dan rendahnya keteladanan moral para elite adalah bentuk-bentuk pengingkaran terhadap Pancasila yang mesti kita koreksi bersama. Demikian juga penyalahgunaan otoritas dalam pengelolaan sumberdaya alam, kuatnya oligarki politik dan ekonomi, penyelewengan dan politisasi hukum, dan perusakan etika bernegara masih kuat dalam kehidupan bernegara di negeri ini.

Praktik kehidupan politik, ekonomi, dan budaya pasca reformasi sangat liberal yang berdampak pada kehidupan yang serba boleh atau pragmatis dan oportunistik seperti politik uang, politik transaksional, premanisme yang dilindungi negara, dan sikap warganegara yang serba permisif. Karenanya tantangan terbesar saat ini bukanlah mempertentangkan Pancasila dengan ideologi lain serta terus memproduksi isu radikalisme tanpa fokus dan kejelasan pemikiran. Tetapi bagaimana kita mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila secara otentik dalam realitas sosial, politik, ekonomi, hukum, serta seluruh praktik berbangsa dan bernegara.

Jika Sukarno menyebutkan Pancasila sebagai philosopische grondslag (dasar filosofis) atau Weltanschauung (pandangan dunia) maka Dasar Negara tersebut harus menjadi fondasi bangunan kehidupan berbangsa dan bernegara secara struktural dan aktual dalam perikehidupan berbangsa bernegara. Artinya, Pancasila harus betul-betul dijadikan nilai penting yang menjiwai dan sekaligus membentuk pemikiran mendasar dalam kehidupan berbangsa dan penyelenggaraan bernegara.

Baca Juga  Mempertentangkan Islam dan Nasionalisme adalah Pembodohan

Selain itu membuahkan perilaku nyata para pejabat, aparatur, seluruh elite publik dalam menjalankan pemerintahan negara dari pusat sampai daerah. Termasuk bagi para mantan pejabat negara dan yang sudah purna tugas agar menunjukkan etika luhur dalam berbangsa bernegara sebagai para negarawan berjiwa Pancasila, supaya tidak tamak kuasa dan digdaya.

Pancasila lahir dari konsensus luhur para pendiri bangsa dan tokoh-tokoh nasional yang datang dari berbagai latar belakang agama, suku, dan golongan. Pancasila hadir dari hasil perenungan dan pemikiran yang mendalam serta menghadirkan dasar negara yang inklusif, adil, dan mempersatukan. Pancasila bukan sekadar dokumen sejarah, melainkan nilai hidup bersama yang harus dibumikan secara nyata. Karenanya sudah tinggi waktunya untuk menjadikan Pancasila sebagai praktik hidup nyata berbangsa bernegara.

Bagi Muhammadiyah, Pancasila tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sebaliknya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sangat sejalan dengan ajaran Islam: Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial. Sejak awal kemerdekaan hingga kini, Muhammadiyah berkomitmen untuk menerima, menjaga, dan mengamalkan Pancasila secara konsisten dalam kehidupan berbangsa, melalui dakwah pencerahan, pendidikan, kesehatan, dan aksi sosial kemanusiaan. Muhammadiyah mengunci sikap dasar itu dalam dokumen resmi Negara Pancasila Darul Ahdi Wasyahadah.

Di tengah situasi global yang kompleks dan penuh tantangan, Pancasila harus hadir sebagai kekuatan pemersatu dan pengarah jalan kemajuan Indonesia dan ranah dunia. Membela Palestina dan mengutuk segala bentuk agresi, genosida, dan penjajahan legal maupun ilegal oleh negara manapun termasuk Zionis Israel adalah manifestasi menjalankan Konstitusi Negara dan Pancasila. Bukan urusan primordialisme agama apalagi wujud politik transaksional antarnegara.

Baca Juga  Unjuk Rasa di Kemendikti Berakhir Damai, Menteri Satryo: Rotasi ASN Tetap Lanjut

Sila keempat dalam Pancasila sama pentingnya dalam berbangsa dan bernegara, termasuk dalam berpolitik dan berdemokrasi. Bagaimana nilai Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Menurut sejumlah ahli dan praktik di kehidupan nyata, politik dan demokrasi Indonesia sudah sangat liberal.

Para aktor baik institusi maupun elitnya terbiasa pragmatis dan oportunistik, demi meraih dan mewujudkan kepentingannya apa saja dihalalkan, termasuk mengakali konstitusi dan peraturan. Hukum pun disalahgunakan dan disiasati demi kepentingan politik sesaat. Warga bangsa pun terbiasa pragmatis dan oportunistik.

Oligarki politik berbaju koalisi pun samar-samar maupun terbuka menjadi hegemoni kekuasaan bernegara. Karenanya politik dan demokrasi Indonesia kehilangan jiwa hikmah-kebijaksanaan, permusyawaratan, dan perwakilan. Di sinilah pentingnya perenungan mendasar, bahwa sistem dan politik demokrasi Indonesia saat ini sejatinya menyalahi atau banyak tidak sejalan dengan Sila Keempat Pancasila.

Selain itu, kesenjangan sosial dan kemiskinan juga masih menjadi realitas di negeri ini. Sementara oligarki politik dan oligarki ekonomi makin menyatupadu kehidupan kebangsaan dan kenegaraan di Republik ini. Jelas hal itu tidaklah sejalan dengan Sila Kelima Pancasila, yakni Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Kita ingat pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945, “Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara semua buat semua, satu buat semua, semua buat satu’.”.

Sumberdaya alam harus dimanfaatkan dan dikelola dengan sebaik-baiknya untuk hajat hidup orang banyak, demi keadilan dan kemakmuran bersama seluruh rakyat Indonesia.

Karenanya Pancasila jangan terus dislogankan, diteriakkan, disimbolisasikan, dan apalagi dikeramatkan dengan gempita. Pancasila tidak untuk disakralkan dan diglorifikasi dengan paham puritan dan fanatik buta, yang melahirkan pandangan ultranasionalisme, tanpa perwujudan di dunia nyata dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebaliknya Pancasila juga jangan dinegasikan dengan praktik-praktik kehidupan bernegara yang berubah menjadi serba pragmatis, oportunistik, dan serba liberal.

Baca Juga  Khofifah Blusukan di Pasar PPI, Yakin Menang Tebal di Surabaya

Demi menjadikan Pancasila terwujud nyata dalam berindonesia, yakni: Berketuhanan Yang Maha Esa; Berperikemanusiaan yang adil dan beradab; Berpersatuan Indonesia; Berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan; serta Berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Maka seluruh pejabat di eksekutif, legislatif, yudikatif, partai politik, dan institusi pemerintahan maupun komponen bangsa lainnya wajib hukumnya ber-Pancasila dalam kehidupan nyata. Pancasila akan kehilangan makna jika hanya dijadikan slogan atau simbol tanpa pelaksanaan nyata. Oleh karena itu, Muhammadiyah mengajak seluruh komponen bangsa, khususnya generasi muda, untuk menjadikan Pancasila sebagai inspirasi etika dan aksi kolektif.

Mari kita jaga dan amalkan Pancasila, bukan hanya dalam pidato, tetapi dalam perilaku dan kebijakan yang menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Jangan sampai Pancasila digelorakan menjadi salam tanpa makna dan berhenti menjadi kebanggaan semu dalam kehidupan berbangsa bernegara!***

 

*) Penulis: Prof. Haedar Nashir
Ketua Umum PP Muhammadiyah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *