MAKLUMAT — “Robek-robeklah badankoe. Potong-potonglah djasad ini, tetapi djiwakoe dilindoengi benteng merah putih, akan tetap hidoep, tetap menoentoet bela siapapun lawan jang akoe hadapi,” (Djenderal Soedirman, 17 Agustus 1948, Jogjakarta).
Kutipan di atas dipetik dari Senakatha, media internal TNI Pusat Sejarah TNI. Nama besar Jenderal Soedirman seolah hidup kembali setiap peringatan Hari TNI, 5 Oktober. Kesederhanaan, kepemimpinan, dan jiwa nasionalisme-nya, seperti bara yang tak pernah padam.
TNI tidak boleh melupakan jasa besar Jenderal Soedirman. Kesederhanaan Soedirman harus menjadi teladan dari pangkat terendah, prajurit dua, hingga jenderal bintang empat. Momen peringatan HUT TNI ke-79, Sabtu (5/10/2024), adalah saat yang tepat merenungkan kembali perjuangan kader Muhammadiyah itu dalam membesarkan TNI. Seperti apa sejarahnya?
Putra Buruh Pabrik Gula
Jenderal Soedirman, atau Panglima Besar Soedirman, lahir pada 24 Januari 1916 di Dukuh Rembang, Purbalingga, Jawa Tengah. Ia merupakan putra dari pasangan Karsid Kartowiraji dan Siyem.
Ayahnya, Karsid Kartowiraji, adalah seorang petani yang pernah bekerja sebagai buruh pabrik gula di Kalibogor sebelum akhirnya pindah ke Dukuh Rembang untuk bertani. Ayahnya keluar dari pabrik gula karena tidak cocok bekerja dengan Belanda.
Menurut laman esi.kemdikbud.go.id, Soedirman tumbuh dalam keluarga sederhana yang menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan dan adat-istiadat, yang membentuk karakter religius dan disiplin pada dirinya.
Karena kondisi ekonomi keluarganya yang sulit, pamannya, Raden Tjokrosunarjo, seorang Camat atau Asisten Wedana Kecamatan Rembang, mengangkat Soedirman sejak bayi
Setelah pensiun, Raden Tjokrosunarjo bersama keluarga dan Soedirman pindah ke Cilacap. Soedirman baru mengetahui bahwa dirinya adalah anak angkat setelah Raden Tjokrosunarjo memberitahukannya beberapa saat sebelum meninggal dunia pada tahun 1934.
Pada usia tujuh tahun, Soedirman mulai mengenyam pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Cilacap. Setelah menyelesaikan pendidikan di HIS, Soedirman melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lagere School (MULO) Wiworotomo pada tahun 1932.
Di sekolah ini, Soedirman menunjukkan perkembangan pesat, baik dalam pendidikan formal maupun kegiatan ekstrakurikuler. Ia aktif dalam organisasi Ikatan Pelajar Wiworotomo dan Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI), serta terlibat dalam kegiatan organisasi Muhammadiyah dan kepanduan Hizbul Wathon (HW)
Pendidikan di Muhammadiyah Solo
Setelah menyelesaikan pendidikan di MULO pada tahun 1935, Soedirman sempat melanjutkan pendidikan di Muhammadiyah Solo.
Namun Soedirman hanya bertahan satu tahun karena keterbatasan biaya. Ia kemudian pulang ke Cilacap dan diangkat menjadi guru di HIS Muhammadiyah Cilacap yang baru didirikan.
Sebagai guru, Soedirman selalu menjadi teladan yang baik bagi anak didiknya. Dia berusaha membentuk kepribadian anak didiknya, untuk menjadi orang yang memiliki jiwa, semangat juang, dan nasionalisme yang tangguh
Soedirman memulai karier militernya dengan bergabung di Lucht Bescherming Dienst (LBD) atau Penjaga Bahaya Udara di Cilacap.
LBD merupakan dinas yang dibentuk Belanda untuk menghadapi perang Asia Pasifik. Karena kegigihannya, Soedirman diangkat menjadi kepala LBD di Cilacap.
Setelah Jepang menguasai Indonesia dan membubarkan LBD, Soedirman mendaftarkan diri sebagai anggota Pembela Tanah Air (PETA).
Dia mengikuti pendidikan Daidancho di Bogor Angkatan II. Setelah menyelesaikan pendidikan, ia diangkat menjadi Daidancho (Komandan Batalyon) di Daidan Kroya
Karier Militer
Karier militer Soedirman terus berkembang, dan pada 5 Oktober 1945, pemerintah mengubah Badan Keamanan Rakyat (BKR) menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), di mana Soedirman dipercaya menjadi Panglima Tertinggi TKR pada usia 29 tahun.
Soedirman memimpin berbagai operasi militer penting, termasuk pertempuran melawan pasukan sekutu di Semarang dan Magelang, serta memimpin perang gerilya selama Agresi Militer Belanda II.
Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia, Soedirman tetap dipercaya menjabat sebagai Panglima Tertinggi TNI. Namun, kesehatannya semakin memburuk akibat penyakit Tuberculosis (TBC) yang dideritanya.
Pada 28 Januari 1950, sekitar satu bulan setelah pengakuan kedaulatan, Jenderal Soedirman berpulang ke rahmatullah dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta.
Atas jasa dan pengorbanannya untuk bangsa dan negara, pemerintah menetapkan Jenderal Soedirman sebagai Pahlawan Nasional pada 10 Desember 1964.