MAKLUMAT — Kesepian justru menjadi fenomena yang semakin akrab dengan generasi muda, khususnya Gen Z, di tengah derasnya arus informasi dan perkembangan media sosial (medsos), termasuk di platform TikTok.
Linimasa dipenuhi video hiburan, konten motivasi, hingga kisah personal yang tampak menyentuh secara emosional. Namun, di balik layar, banyak pengguna tetap merasa terasing dari kehidupan sosial nyata.
Fenomena paradoks tersebut menarik perhatian mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), yang mampu melahirkan riset berjudul ‘Loneliness in the Crowd: Eksplorasi Literasi Media Digital pada Fenomena Kesepian di TikTok melalui Konfigurasi Kajian Hiperrealitas Audiovisual‘.
Dilansir dari laman resmi UMY, riset yang diketuai oleh Fifin Anggela Prista itu juga berhasil lolos seleksi Program Kreativitas Mahasiswa Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) Tahun 2025 dan memperoleh pendanaan sebesar Rp6,2 juta.
Fifin mengungkapkan, ide penelitian berawal dari pengamatan sehari-hari terhadap kebiasaan Gen Z yang hampir selalu berselancar di media sosial, khususnya TikTok. Situasi itu memunculkan pertanyaan mendasar: ‘mengapa seseorang bisa begitu aktif di dunia maya, tetapi minim interaksi sosial secara langsung?‘
“Setelah berdiskusi dengan anggota tim, kami menyadari pengalaman serupa juga dialami banyak orang di sekitar. Dari riset kecil-kecilan, kami menemukan keterkaitan antara penggunaan media sosial yang berlebihan dengan rasa kesepian, insecure, bahkan masalah kesehatan mental,” jelasnya.
Tim yang beranggotakan Fifin Anggela Prista, Gifatul Hidayah, Najwa Aulia Habibah, Rossy Safitri Putra Pratama, dan Muhammad Rasyid Ridha tersebut, menggunakan metode kualitatif untuk menggali pengalaman personal para pengguna TikTok secara mendalam.
“Di satu sisi, konten di media sosial adalah hasil rekayasa. Namun di sisi lain, orang tetap mengonsumsi dan bahkan membenarkan narasi tersebut. Menurut teori hiperrealitas, representasi digital kerap dianggap lebih ‘nyata’ daripada realitas itu sendiri, sehingga emosi yang dibentuk media dapat memengaruhi kesehatan mental dan hubungan sosial seseorang,” ungkap Fifin.
Hasil pengamatan awal yang dilakukannya menunjukkan banyak akun TikTok memproduksi ulang narasi kesepian dengan sentuhan estetik dan emosional, seperti kutipan tentang hubungan, kehilangan, atau rasa keterasingan. Konten ini sering dibagikan ulang sebagai bentuk coping stress atau cara menyalurkan perasaan melalui media sosial.
“Konten yang dibuat orang lain sering kali merepresentasikan diri kita, entah itu soal pencapaian orang lain atau kisah emosional seperti percintaan. Walaupun sebagian bersifat komersial, pengguna tetap membagikannya karena merasa konten tersebut mewakili perasaan mereka,” sebutnya.
Namun, kebiasaan ini memicu efek domino. Semakin sering pengguna membagikan konten kesepian, semakin banyak pula konten serupa yang muncul di linimasa akibat algoritma TikTok.
Penelitian menunjukkan bahwa semakin sering terpapar konten kesepian, semakin tinggi pula risiko mengalami gangguan kesehatan mental.
Melihat potensi dampak yang lebih luas, tim Hypercrowd berencana menggandeng Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) untuk mengembangkan strategi literasi digital dan manajemen penggunaan gawai.
“Harapannya, penelitian ini bisa menjadi inovasi dalam penanganan isu literasi digital dan kesehatan mental, khususnya di kalangan Gen Z,” kata Fifin.
“Karena kesepian sering dianggap masalah pribadi, padahal dari hal-hal yang terlihat sepele ini, dampaknya bisa sangat besar bagi kesehatan mental generasi muda,” imbuhnya.