MUHAMMADIYAH berada dalam situasi paradoks politik ketika menghadapi momen pemilihan umum (Pemilu) tahun 2024 lalu. Paradoks itu muncul dikarenakan pesta demokrasi lima tahunan tersebut dilakukan serentak antara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) maupun pemilihan anggota legislatif (Pileg).
Konsekuensi dari itu membuat sikap politik warga Muhammadiyah hanya tertuju pada bagaimana cara dan siapa calon presiden yang nantinya akan terpilih. Sementara, warga Muhammadiyah tidak terlalu memprioritaskan siapa-siapa calon anggota legislatif (caleg) yang bakal duduk menjadi wakilnya.
Seyogyanya, memilih caleg tidak kalah pentingnya dengan memilih presiden dan wakilnya. Sebab, wakil rakyat merupakan tempat bagi warga Muhammadiyah menitipkan aspirasinya. Sehingga, mereka bisa jadi saluran atau sarana untuk mengawal visi dakwah Muhammadiyah di parlemen.
Anggota dewan juga sosok yang lebih dikenal dibandingkan Presiden. Maka dengan banyaknya anggota dewan yang berasal dari kader Persyarikatan, tentu kecil kemungkinan akan lahir kebijakan maupun terbit undang-undang yang dinilai merugikan alias tidak pro rakyat. Apalagi muncul aturan yang mengancam keberlangsungan dakwah di bidang pendidikan, layanan kesehatan dan sosial.
“Ternyata Pilpres dan Pileg itu memang gak bisa dibarengkan, atau gak bisa serentak. Itu ternyata menyebabkan warga Muhammadiyah berada dalam kondisi paradoks politik,” kata Muhammad Mirdasy di Aula KH Mas Mansur PWM Jatim, Jalan Kertomenanggal IV/1 Kota Surabaya, Sabtu (1/6/2024) kemarin.
Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur itu memaparkan sekelumit pandangan dan catatannya soal Pemilu 2024 dalam sambutan pembukaan acara Rapat Koordinasi Wilayah (Rakorwil).
Kegiatan ini dimaksudkan untuk ajang evaluasi kinerja LHKP selama Pemilu 2024, yakni melihat kesuksesan program Satu Dapil Satu Caleg KaderMu. Acara ini juga dijadikan ajang silaturahmi dan sebagai proyeksi kiprah LHKP dalam Pilkada Serentak 2024.
Gus Mirdas, sapaan karibnya, menerangkan, situasi paradoks politik itu tercermin ketika warga Muhammadiyah menganggap bahwa memilih presiden sebagai bagian dari keimanan seorang muslim. Sehingga menyangkut kontestasi Pilpres, sikap pimpinan dan warga Persyarikatan menjadi sangat puritan.
“Warga kita memandang wajib hukumnya memilih presiden si A dan haram hukumnya memilih si B. Tidak boleh ada warga Muhammadiyah yang berbeda pilihan Presiden. Wajib hukumnya. Kalau berbeda dilabeli macam macam,” ujarnya.
Pimpinan maupun warga Muhammadiyah juga secara terang-terangan mempromosikan dan menyuarakan calon Presiden yang didukungnya. Baik melalui platform media sosial maupun di berbagai pengajian.
“Warga kita semangat sekali kalau urusan Pilpres. Hampir setiap hari grup WA itu isinya share tentang pilpres. Ini calon terbaik pilihan kita,” ungkapnya.
Kondisi itu ternyata berbanding terbalik menyangkut pemilihan anggota legislatif (Pileg). Pimpinan ataupun warga Muhammadiyah seolah ogah untuk terlibat dalam upaya mensukseskan caleg kader Muhammadiyah. Terutama caleg KaderMu yang menjadi prioritas.
Apalagi caleg KaderMu dianggap berbeda pilihan Presidennya, maka warga Muhammadiyah malah memilih caleg dengan ijtihadnya sendiri-sendiri. Mereka seolah tidak mau untuk disatukan atau disamakan pilihan politiknya kalau urusan Pileg.
“Inikan paradoks namanya. Serba salah akhirnya. Beda pilihan pilpres dihujat, dan lainnya. Tapi urusan caleg KaderMu, minta ijin untuk berbeda, ini ijtihad kita dan lain sebagainya. Pokoknya kalau pileg sulit bersatu,” keluhnya.
Paradoks politik ini juga membuat situasi politik di tubuh Muhammadiyah sulit untuk terkonsolidasi dengan baik. Terutama untuk bisa mensukseskan caleg KaderMu.
“Berbeda antara sikap terhadap Pilpres ataupun Pileg, kemudian menyebabkan sesama kader dan warga Persyarikatan justru saling terpecah-belah. Penyebabnya adalah perbedaan pilihan dan perbedaan preferensi antara Pilpres dengan Pileg. Bahkan, saling menyalahkan, seolah-olah kalau beda pilihan itu wes salah kabeh (sudah salah semua). Nah situasi itu menjadikan situasi paradoks,” kelakarnya.
Mantan Ketua PW Pemuda Muhammadiyah Jawa Timur itu pun berharap agar LHKP yang merupakan navigator politik Muhammadiyah mampu merencanakan dan memformulasikan langkah politik kader Muhammadiyah, terutama bagi yang nantinya terjun ke politik untuk Pemilu selanjutnya.
Selain itu, LHKP juga diharapkan bisa merancang langkah politik menghadapi pemilihan kepala daerah ( Pilkada) Serentak pada 27 November 2024 mendatang.
“Sebentar lagi kita kan masih menghadapi Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah), dan ke depan tentu harapan saya kita bisa mengevaluasi Pemilu 2024 kemarin, lalu merencanakan langkah politik ke depan dengan lebih matang,” tandas Mirdasy.
Reporter: Ubay NA
Editor: Aan Hariyanto