Paradoks Riset di Perguruan Tinggi

Paradoks Riset di Perguruan Tinggi

MAKLUMAT — Riset di Perguruan Tinggi pada dasarnya ialah ruh atas eksistensi keberadaannya di Indonesia. Semakin tinggi kualitas dan kuantitas riset yang dihasilkan, tentu akan semakin nampak eksis keberadaannya dalam rangka pengembangan peradaban Indonesia ke depannya. Sebaliknya, semakin buruk kualitas riset yang dihasilkan, tentu keberadaannya hanya akan menjadi beban bagi masyarakat dan negara. Maka dari itu, Perguruan Tinggi harus memiliki mindset bahwa riset adalah ruh yang akan menjadi penggerak kehidupan dan keberlanjutan peradaban Indonesia untuk jangka panjang di masa yang akan mendatang.

Harapan tersebut, seperti jauh api dari panggang, karena infrastruktur riset di Perguruan Tinggi tak memadai. Alih-alih untuk menyediakan infrastruktur riset, menjalankan operasional kesehariannya, kadang saat ini Perguruan Tinggi terseok-seok—terkhusus Perguruan Tinggi Swasta yang mengandalkan biaya operasional dari pembayaran SPP mahasiswa setiap semester. Lantas, apakah riset masih dianggap penting keberadaannya di Perguruan Tinggi dalam rangka untuk menopang keberlanjutan peradaban Indonesia di masa mendatang?

Urun Rembuk Pecahkan Masalah

Hamli Syaifullah
Hamli Syaifullah

Bila civitas akademika di Perguruan Tinggi masih merasa bahwa riset dianggap penting keberadaannya, maka Perguruan Tinggi akan tetap mampu menjadi sumber jernih dalam rangka menopang keberlanjutan peradaban Indonesia. Sebaliknya, bila riset sudah dianggap tak penting dan hanya sekadar formalitas-pelaporan, maka keberadaannya tak akan mampu memberikan dampak signifikan untuk peradaban Bangsa Indonesia.

Tentu, mau tak mau civitas akademika di Perguruan Tinggi harus mampu membuat sebuah keputusan bersama bahwa keberadaan riset di Perguruan Tinggi masih sangat penting. Bahkan, bukan hanya penting sebagai sebuah pelengkap administrasi saat akan ada proses akreditasi untuk dimasukkan ke dalam borang, baik akreditasi di tingkat prodi ataupun akreditasi di tingkat Perguruan Tinggi. Akan tetapi, penting disebabkan riset adalah sebuah pencarian untuk melahirkan pengetahuan baru, baik dari sisi ontologis, epistimologis, ataupun aksiologis.

Dengan demikian, masalah utama riset yang harus dipecahkan bersama ialah kesamaan persepsi terkait pentingnya keberadaan riset di Perguruan Tinggi. Sehingga kesamaan persepsi akan melahirkan mindset bahwa riset sangat penting. Pada saat seluruh civitas akademika di Perguruan Tinggi telah memiliki mindset bahwa riset sangat penting, maka bisa dipastikan seluruh elemen di Perguruan Tinggi akan dikerahkan untuk bersama-sama memecahkan masalah yang ada terkait riset itu sendiri—mulai dari masalah infrastruktur hingga finansial.

Baca Juga  Totalitas Pemuda Negarawan

Sangat yakin, bila seluruh elemen civitas akademika di Perguruan Tinggi dikerahkan untuk menyelesaikan masalah riset, jalan keluar akan sangat membentang di hadapan mata. Riset akan menjadi salah satu penyokong—bukan hanya eksistensi Perguruan Tinggi, akan tetapi peradaban Indonesia di masa yang akan datang akan lebih cemerlang. Karena dari aktivitas riset di Perguruan Tinggi, banyak temuan inovasi yang tentunya akan sangat bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari.

Riset Bukan Sekadar Formalitas

Ketika civitas akademika di Perguruan Tinggi telah memiliki mindset bahwa riset itu sangat penting, maka aktivitas riset yang dilakukan oleh civitas akademika, mulai dari riset tugas akhir mahasiswa S1, S2, dan S3; riset para dosen; riset pusat kajian; dan riset lainnya yang dihasilkan di berbagai elemen Perguruan Tinggi, tidak hanya akan dilakukan sebagai aktivitas formalitas untuk menggugurkan kewajiban pelaporan kinerja misalnya BKD (Beban Kerja Dosen) ataupun untuk akreditasi Perguruan Tinggi ataupun prodi. Akan tetapi, riset dilakukan dengan penuh dedikasi tinggi sebagai bentuk idealisme untuk melahirkan pengetahuan baru dalam bidang keilmuan yang sedang ditelitinya. Sehingga output dan outcome riset akan benar-benar terasa dalam kehidupan sehari-hari.

Nah tentu, untuk bisa melangkah jauh seperti itu, hal yang harus mulai dikesampingkan ialah bagaimana memudahkan administrasi pelaporan riset—terkhusus riset yang didapatkan dari hibah oleh para dosen, baik hibah dari dana internal ataupun eksternal Perguruan Tinggi. Kemudian, fokus terhadap output dan outcome dari riset tersebut. Misalnya, fokus terhadap luaran artikel untuk bisa terpublikasikan di jurnal akreditasi sinta 2 atau bereputasi internasional, bahan ajar yang bisa diajarkan di kelas, implementasi di pihak industri, masukan kebijakan untuk pemerintah, dan lain sebagainya.

Jangan malah sebaliknya, keberadaan administrasi pelaporan membuat peneliti dari kalangan dosen hanya fokus terhadap kelengkapan administrasi, sementara lupa terhadap fokus utama dari keberadaan output dan outcome itu sendiri. Dengan kata lain, jangan sampai “bila pelaporan riset bisa dibuat susah, ngapain dibuat mudah”. Hal tersebut, tentu harus benar-benar dihindari oleh pihak yang memiliki kewenangan otoritas dalam mengelola riset di Perguruan Tinggi.

Selain itu, kepada dosen pemenang hibah, juga harus memiliki tanggung jawab dan dedikasi tinggi untuk dapat menyelesaikan tugas pelaporan serta seluruh output dan outcome yang telah dijanjikan dalam proposal pengajuan hibah. Jangan-jangan, bertambahnya administrasi pelaporan yang seolah-olah makin ribet setiap tahunnya, memang ada temuan dari oknum dosen yang tak semestinya melaporkan laporan riset serta output dan outcome. Sehingga, dibuatlah administrasi pelaporan yang cukup rigid, sebagai langkah preventif agar riset yang dihasilkan berkualitas.

Baca Juga  Rapor Ekonomi 10 Tahun Jokowi (2014-2024)

Tentu, apapun alasan dari kedua belah pihak, yaitu pihak pemilik otoritas pengelolaan riset di Perguruan Tinggi serta dosen sebagai periset, harus sama-sama memiliki kesadaran bahwa mengerjakan riset yang berkualitas merupakan idealisme yang harus dikedepankan. Sehingga dengan adanya kesadaran seperti hal tersebut, riset bukan hanya menjadi formalitas belaka untuk kelengkapan pelaporan administrasi. Akan tetapi, keberadaan riset di Perguruan Tinggi akan benar-benar menjadi ruh kebangkitan peradaban Indonesia di masa mendatang.

Biaya Riset dan Reward Periset

Saya masih memiliki keyakinan bahwa jika bukan karena untuk pelaporan kinerja dosen dan untuk kenaikan jabatan fungsional (jafung), rasa-rasanya tak akan ada dosen yang mau melakukan aktivitas riset. Terlebih, dana hibah yang diberikan tak sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan. Bahkan seorang dosen harus merogoh kocek untuk menambah biaya riset demi mengejar pelaporan kinerja dosen dan kenaikan jabatan fungsional—khususnya untuk biaya publikasi di jurnal.

Sebagai contoh, untuk riset-riset sosial humaniora tidak membutuhkan laboratorium khusus seperti riset-riset untuk bidang STEM (Science, Technology, Engineering, dan Mathematics). Adapun laboratoriumnya ialah interaksi sosial yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Atinya, untuk mendapatkan data riset, tidak membutuhkan biaya mahal seperti riset bidang STEM. Dengan kata lain, untuk bidang sosial humaniora biaya mendapatkan data riset murah-meriah, bahkan mungkin bisa gratis kalau yang bersangkutan cukup cerdik dengan memanfaatkan kolaborasi bersama mahasiswa. Walaupun untuk mendapatkan datanya murah-meriah, akan tetapi untuk proses publikasi hasil risetnya cukup mahal.

Sekadar hitung-hitungan kasar, publikasi untuk bisa tembus di jurnal sinta 2 (S2), rata-rata akan dikenai APC (Article Processing Charge) di angka Rp 3.000.000-an. Kemudian, penulis juga akan dikenai biaya translate bila seandainya penulis jurnal tidak memiliki kemampuan Bahasa Inggris yang baik—tapi rata-rata dosen menggunakan jasa translate, karena artikelnya kebanyakan berbahasa Indonesia. Selain itu, ditambah biaya proofread artikel. Biaya proofread harganya bervariasi. Misalnya, biaya translate dan proofread menghabiskan Rp 4.000.000-an.

Baca Juga  Dorong Inovasi dan Hilirisasi Riset, Kemdiktisaintek Luncurkan Dua Program Strategis

Hitung-hitungan tersebut, belum termasuk di dalamnya ialah biaya mendapatkan data lapangan, mulai dari biaya transportasi, biaya konsumsi, biaya olah data, biaya membeli buku dan artikel berbayar, dan lain sebagainya. Misalnya, biaya mendapatkan data diakumulasikan sebesar Rp 3.000.000-an, maka riset dengan output publikasi di jurnal sinta 2 akan menghabiskan dana sekitar Rp 10.000.000-an. Lantas pertanyaannya, bagaimana bila seandainya satu riset menghasilkan 3 publikasi untuk terbit di jurnal Sinta 2? Selanjutnya, bila seandainya harus dipublikasikan di jurnal bereputasi Q3, Q2, atau Q1, siapa biaya yang akan menanggung? Karena pastinya, biaya APC untuk jurnal bereputasi internasional pasti di atas Rp 10.000.000-an.

Dengan demikian, satu artikel yang dihasilkan untuk publikasi, membutuhkan biaya yang cukup besar. Memang, ada jurnal yang tidak memasang biaya APC, tetapi antriannya akan sangat panjang. Terkait biaya, bila dosen sebagai periset mendapatkan hibah riset, tentu biaya tersebut bisa diambilkan dari dana hibah. Dan, kalaupun kurang dana hibahnya, harus merogoh kocek untuk menambah kekurangan tersebut. Bila masih kurang dananya, bagaimana dengan reward perisetnya. Artinya, dari pelaksanaan riset, penulis tidak mendapatkan apa-apa. Bila demikian yang terjadi, rasa-rasanya riset hanya akan menjadi formalitas untuk mengejar kenaikan jabatan fungsional dosen saja.

Maka, salah satu cara agar riset tidak hanya menjadi formalitas kenaikan jabatan fungsional, reward periset dari kalangan dosen harus tetap ada. Artinya, Perguruan Tinggi harus mulai memilikirkan apresiasi berupa reward bagi para periset, agar periset memiliki kepastian honorarium dari aktivitas riset yang dilakukan setiap semester. Bila Perguruan Tinggi bisa memberikan reward atas riset yang dihasilkan, penulis sangat yakin perlahan-lahan riset di Perguruan Tinggi tidak hanya menjadi formalitas pelaporan-administrasi, akan tetapi setiap dosen akan memiliki idealisme tinggi bahwa riset ialah ruh atas eksistensinya di tengah-tengah masyarakat.

____________

*) Artikel ini sudah pernah dipublikasikan di laman resmi Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) dengan judul ‘Paradoks Riset di Perguruan Tinggi: Antara Formalitas atau Idealisme’

*) Penulis: Hamli Syaifullah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *