MAKLUMAT — Urbaning Center for Urban Studies menyoroti kebijakan parkir di Surabaya yang dinilai terlalu fokus pada aspek fiskalisasi tanpa mempertimbangkan dampak sosial ekonomi. Hal ini disampaikan Peneliti Urbaning, Reno Eza Mahendra, dalam Diskusi Publik bertema Parkir dan Mobilitas Perkotaan yang digelar LHKP PDM Kota Surabaya, Rabu (25/6/2025).
Reno mengungkap bahwa Pemerintah Kota Surabaya secara sistematis memanfaatkan regulasi, seperti Perda No. 3 Tahun 2018 dan Perda No. 7 Tahun 2023, untuk menjadikan ruang parkir sebagai instrumen pendapatan daerah. “Strategi seperti parkir zona dan usulan tarif progresif lebih banyak berfungsi untuk menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD), bukan sebagai alat manajemen lalu lintas,” tegasnya.
Ia juga menyinggung parkir liar yang tidak hanya dianggap sebagai pelanggaran hukum, tetapi telah menjadi bagian dari ekosistem ekonomi bagi kelompok masyarakat rentan. “Karena lapangan kerja formal terbatas, parkir liar ini jadi tumpuan hidup banyak orang. Tapi praktik ini merampas ruang publik, membahayakan pejalan kaki, dan memperparah kemacetan,” jelas Reno.
Kebijakan digitalisasi parkir melalui e-parking, seperti QRIS dan sistem tap, juga dikritisi. Menurut Reno, digitalisasi ini memang meningkatkan transparansi dan potensi PAD, namun di sisi lain juga menyingkirkan juru parkir informal dari ekonomi kota. “Tidak ada program transisi yang adil bagi mereka. Ini menimbulkan ketegangan sosial,” tambahnya.
Reklamasi Trotoar
Untuk itu, Reno menyarankan sejumlah solusi. Ia mendorong strategi push and pull melalui reformasi tarif parkir dan reklamasi trotoar, disertai percepatan pembangunan transportasi publik berbasis keadilan sosial. Ia juga mengusulkan adopsi model Transit-Oriented Development (TOD) seperti yang berhasil diterapkan di Curitiba, Brasil.
“Reorientasi kebijakan parkir di Surabaya penting dilakukan. Misalnya, seluruh pendapatan parkir bisa dialokasikan ke dana khusus infrastruktur pejalan kaki, jalur sepeda, dan subsidi transportasi publik. Ini akan menciptakan siklus positif,” ujarnya.
Ia juga merekomendasikan pelembagaan keadilan spasial melalui perencanaan partisipatif dan pembentukan dewan transportasi lingkungan yang inklusif, termasuk melibatkan perwakilan juru parkir informal.
Dalam penutupnya, Reno menekankan pentingnya program transisi yang adil atau just transition bagi pekerja informal. “Mereka bisa dilatih dan direkrut sebagai petugas parkir resmi atau staf halte. Ini akan jauh lebih manusiawi daripada sekadar menyingkirkan,” pungkasnya.