KETIKA orde baru, partai Islam hanya dianggap sebagai mainan. Partai Islam pun dibonsai sedemikian rupa ke dalam sebuah partai bernama Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Keadaan itu membuat partai Islam relatif kecil dan tidak mungkin bisa menang.
Meski partai politik Islam relatif kecil, namun aspirasi politik umat Islam pada masa orde baru sangatlah kuat. Sehingga, ketika wadahnya tidak mencukupi karena terlalu kecil, mereka pun mengalir ke wadah yang lebih luas. Akhirnya, banyak di antara aktivis muda Islam seperti halnya Akbar Tanjung kemudian memilih masuk ke dalam barisan Partai Golkar. Mereka masuk membawa atau dengan aspirasi Islam.
“Waktu itu ada deklarasi Islam Yes, partai Islam No. Sebenarnya itu maksudnya adalah memperjuangkan politik Islam itu tidak harus lewat partai Islam. Itu pula yang dimaksud oleh MH Ainun Najib alias Cak Nun,” kata Ahmad Norma Permata dalam Rapat Kerja Nasional (Rakornas), Sabtu (30/9/2023).
Kegiatan tersebut diadakan oleh Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Perwakilan LHKP PWM se Indonesia antusias hadir dalam momen konsolidasi politik tersebut.
Norma menambahkan, politik Islam kala itu masih berkembang di bawah tanah. Sementara di atas permukaan mereka (aktivis muda Islam) semua berjuang lewat Partai Golkar. “Akhirnya, dalam tubuh partai Golkar, ada kekuatan politik Islam yang bertarung melawan kekuatan politik sekuler,” terang Dewan Pakar LHKP PP Muhammadiyah.
Sementara, kata dia, setelah orde baru tumbang, yakni ketika terjadi Reformasi pada tahun 1998, Undangan-undang (UU) Nomor 8 yang dulunya membatasi dan mengatur agar semua partai harus berasaskan Pancasila, dengan kata lain tidak boleh ada partai berasaskan Islam, telah dicabut.
Maka, umat Islam mengalami euforia. Mereka pun berlomba membuat partai Islam sebanyak-sebanyaknya. Termasuk Persyarikatan Muhammadiyah. Hal itu dengan harapan dan keyakinan bahwa aspirasi Islam harus disalurkan secara proporsional demokratis melalui partai Islam.
Masing-masing kelompok Islam akhirnya mempunyai partai politiknya sendiri. Muhammadiyah diketahui mempunyai riwayat dengan sejumlah partai politik seperti membidani lahirnya PAN atau PMB. Demikian pula dengan Nahdlatul Ulama (NU) yang mempunyai lebih banyak partai politik. Seperti halnya PKB, PKNU dan lainnya.
“Nah, yang menarik adalah waktu itu, sikap politik partai Islam sangat eksklusif dan formalistik. Artinya apa? mereka meyakini bahwa Islam hanya bisa disalurkan lewat partai Islam dan hanya bekerja sama dengan sesama partai Islam. Puncaknya adalah adanya poros tengah,” urainya.
Ketika itu, dia menjelaskan, poros tengah menjadi tempat atau wadah pertarungan antara kekuatan politik Islam di satu sisi, berhadapan dengan kekuatan politik sekuler di sisi lain.
“Kebetulan poros tengah menang. Ini kemudian dilegitimasi sebagai keunggulan politik Islam. Waktu itu, partai Islam cenderung berkoalisi dengan sesama partai Islam,” ungkapnya.
Sayangnya, meski muslim di Indonesia jumlahnya mayoritas, namun dalam pemilu tahun 1999, jumlah pemilih atau elektoral partai Islam total hanya meraup sekitar 35 persen. “Sampai sekarang presentasenya tetap. Hanya naik turun antar sesama partai Islam karena saling kanibal,” paparnya.
Lebih lanjut Norma memaparkan, mencermati perkembangan politik Islam antara Pemilu 1999 sampai 2004. Yakni, ketika pemilu 1999 partai Islam hanya berkoalisi dengan sesama partai politik Islam, namun pasca Pemilu 2004, partai Islam semuanya berkoalisi dengan partai non Islam. Mereka juga terbuka mendukung capres dari partai non Islam.
Mengapa hal itu terjadi? Menurut Norma, sesuai dengan teori kondisi itu menggambarkan bahwa umat Islam mulai paham soal aturan main politik. Bahwa Politik itu soal kepentingan dan soal bagaimana meraih kemenangan.
“Apa yang bisa membuat menang? Jawabannya adalah duit. Mereka (partai politik Islam) mulai menyadari bahwa kalau pengen menang ya harus bergabung dengan kelompok yang punya duit,” tegasnya.
Kondisi itu membuat setelah Pemilu 2004, sikap umat Islam dan para politikus Islam terhadap demokrasi sekarang mulai berubah pragmatis. Mereka juga mulai terbuka berkolaborasi dengan siapapun. Bahkan, mereka mau menerima jabatan politik apapun.
“Hal itu bagian dari kesadaran bahwa Politik bukan hanya soal memperjuangkan identitas. Tapi politik itu untuk memperjuangkan kepentingan. Maka harus menang,” tandasnya. (*)
Reporter: Ubay
Editor: Aan Hariyanto