Pekerja Menopang Pembangunan, Tapi Siapa yang Menopang Pekerja?

Pekerja Menopang Pembangunan, Tapi Siapa yang Menopang Pekerja?

MAKLUMAT — Indonesia sering membanggakan pertumbuhan ekonomi yang stabil, meningkatnya investasi, dan kemajuan infrastruktur di berbagai daerah. Namun di balik angka-angka itu, terdapat ironi besar: kesejahteraan para pekerja, yang sejatinya menjadi tulang punggung pembangunan, masih jauh dari layak. Upah yang tidak sebanding dengan kebutuhan hidup, kondisi kerja yang belum manusiawi, dan lemahnya perlindungan sosial menjadi potret buram yang terus berulang dari tahun ke tahun.

Masalah ini bukan sekadar persoalan nominal upah, tetapi juga menyangkut struktur hubungan kerja yang timpang. Banyak pekerja, terutama di sektor informal dan padat karya, tidak mendapatkan jaminan kesehatan, keselamatan, atau pensiun. Saat negara dan perusahaan berlomba mengejar efisiensi dan keuntungan, hak-hak dasar pekerja justru sering dikorbankan atas nama pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, kemajuan yang tampak hanya menjadi façade, pembangunan yang berdiri di atas fondasi ketimpangan sosial.

Perlindungan pekerja sejatinya memiliki tujuan yang lebih besar dari sekadar penyediaan lapangan kerja. Tujuan utamanya adalah menjaga martabat manusia pekerja. Perlindungan yang inklusif dan berkelanjutan berarti memastikan setiap orang, baik di sektor formal maupun informal, memiliki kesempatan yang adil untuk hidup sejahtera, terlindungi dari risiko sosial, dan diakui kontribusinya dalam pembangunan nasional.

Sistem perlindungan pekerja yang kuat bukanlah beban negara, melainkan investasi jangka panjang bagi kemajuan bangsa. Pekerja yang sejahtera akan lebih produktif, inovatif, dan loyal terhadap pekerjaannya. Dalam skala nasional, kondisi ini akan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang stabil, merata, dan berkeadilan. Dengan kata lain, kesejahteraan pekerja adalah kunci pembangunan yang benar-benar manusiawi.

Baca Juga  PBB Balas Surat Celios yang Minta Investigasi Data Pertumbuhan Ekonomi RI

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa sekitar 58 persen tenaga kerja Indonesia masih berada di sektor informal. Artinya, lebih dari separuh pekerja belum memiliki jaminan sosial atau kontrak kerja tetap. Indeks upah riil pun cenderung stagnan dalam lima tahun terakhir, sementara biaya hidup terus meningkat. Fakta ini menunjukkan adanya jurang yang lebar antara laju pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan nyata rakyat pekerja.

Sayangnya, banyak kebijakan perlindungan ketenagakerjaan masih berhenti di tataran wacana. Program-program yang ada sering berjalan tanpa pengawasan serius, sementara pelanggaran hak pekerja tetap marak, dari jam kerja berlebih hingga pemutusan hubungan kerja sepihak. Dunia usaha berdalih pada efisiensi dan daya saing global, tetapi jarang berbicara tentang keseimbangan antara profit dan kemanusiaan.

Membangun sistem perlindungan pekerja yang inklusif membutuhkan kolaborasi lintas sektor: pemerintah sebagai regulator, dunia usaha sebagai pelaksana tanggung jawab sosial, dan masyarakat sipil sebagai pengawas moral publik. Sinergi ini penting untuk menciptakan sistem yang adaptif terhadap perubahan dunia kerja, seperti digitalisasi dan munculnya gig economy, tanpa mengorbankan hak-hak dasar pekerja.

Indonesia tidak akan benar-benar maju jika para pekerjanya terus dibiarkan rentan. Pekerja bukan sekadar alat produksi, melainkan warga negara yang berhak atas kesejahteraan dan perlindungan. Pertanyaan “siapa menopang pekerja?” seharusnya menjadi pengingat bahwa keadilan sosial hanya dapat tercapai bila pembangunan berdiri di atas fondasi kemanusiaan, bukan eksploitasi.

Baca Juga  BPS Rilis Kondisi Ekonomi Indonesia: Harga Naik hingga Peredaran Uang Menurun
*) Penulis: Nashrul Mu’minin
Content Writer Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *