MAKLUMAT — Air bah yang menyapu Aceh pada akhir November 2025 lalu, tidak hanya menenggelamkan rumah dan meretakkan jembatan. Bencana ini hampir menenggelamkan mimpi anak-anak berprestasi Aceh untuk tampil di Grand Final Olimpiade Pendidikan Agama Islam (PAI) 2025.
Namun asa itu tidak hanyut. Ia justru bangkit dari puing-puing banjir. Ia menyeberangi sungai yang sedang mengamuk. Ia menembus jalan yang runtuh. Ia terbang ke Jakarta, lalu berdiri di panggung nasional dengan dada tegap.
Dan dari panggung itulah, dua nama Aceh menggema: Khaidar Munarzi dari SMP IT Muhammadiyah Bireuen dan M. Al-Walid dari SMAN 1 Kuta Makmur, Aceh Utara. Keduanya meraih juara 1 nasional lomba pidato PAI 2025.
Kabar menggembirakan itu mengguncang suasana penutupan Grand Final PAI Fair di Mercure Convention Center Ancol, Jakarta, Selasa (2/12). Di tengah kepungan musibah banjir dan tanah longsor, Aceh justru mengibarkan bendera kemenangan.
Rumah Hampir Roboh, Khaidar Tetap Berangkat
Khaidar memulai perjalanan itu dari desa kecil di Krueng Mane, Muara Batu. Rumah kayu dua lantai yang ia tinggali bersama keluarga miring dihantam luapan sungai. Air naik sampai leher. Gelap malam memaksa mereka mengungsi.
“Biasanya air tidak sampai masuk rumah. Tapi kali ini sampai lantai dua,” ujar Khaidar seperti dilansir laman Kemenag.
Ia sempat putus asa ketika jembatan Kuta Blang putus dan beberapa jembatan di sepanjang Krueng Peusangan ambruk. Jalan ke Banda Aceh lumpuh. Tiket pesawat terancam hangus. Harapan nyaris runtuh.
Namun ia memilih bangkit. Pada Minggu pagi, Khaidar dan ibunya menyeberangi Krueng Tingkeum dengan perahu yang disediakan warga. “Walau takut karena arus deras, kami tetap menyeberang,” ceritanya. Tiket lima ribu rupiah menjadi harga yang membayar keberanian itu.
Ia tiba di Banda Aceh, langsung mengejar penerbangan Batik Air ke Jakarta. Itu menjadi perjalanan pertamanya ke luar pulau. Sore hari, ia sampai di Hotel Mercure. Dua jam kemudian, tanpa tidur cukup, ia sudah berada di depan mikrofon, membawa nama Aceh. “Saya bahagia bisa mewakili Aceh,” katanya, matanya berbinar.
Al-Walid mengalami kisah yang nyaris sama. Ia harus menyeberang sungai, mencari jalur alternatif, dan meninggalkan tiket pesawat yang akhirnya hangus. Namun ia tidak menoleh ke belakang. Ia menembus semua hambatan dan tiba di Jakarta sebelum lomba digelar.
Di panggung, ia berbicara lantang. Kata-katanya menggetarkan ruang. Ia meraih juara 1.
Dari 15 Finalis Aceh, Hanya 11 Tiba di Jakarta
Kepala Bidang PAI Kanwil Kemenag Aceh, Aida Rina, menuturkan kondisi para finalis sangat memprihatinkan. Air bah memutus banyak daerah. Namun mereka tetap berjuang.
Dari 15 finalis, 11 peserta berhasil tiba di Jakarta, 2 peserta ikut lomba secara daring, 1 peserta terhenti di Medan, dan 1 peserta masih hilang kontak.
Ayrakanz, finalis cover lagu asal Langsa, mengikuti lomba daring sambil menangis karena rumahnya tenggelam dan akses ke Banda Aceh serta Medan terputus.
Safwina Tinambunan dari Aceh Singkil menempuh perjalanan lima jam sebelum banjir memaksanya kembali. Ia tetap ikut lomba secara online meskipun tiketnya hangus.
Niswatul Husna, finalis MTQ asal Aceh Timur, sempat hilang kontak dua hari dan hanya mampu memberi kabar dari Medan.
Yang paling membuat Aida cemas adalah Baihaqi, finalis dari Bireuen, yang hingga kini belum dapat dihubungi.
Sementara Intan Mataul Hayati tetap berangkat ke Jakarta. Ia berada di Banda Aceh saat banjir terjadi karena sedang kuliah UT.
“Aceh Tidak Pernah Menyerah”
Aida menyebut PAI Fair tahun ini menghadirkan kisah luar biasa. Bukan sekadar tentang kompetisi, tetapi tentang keberanian dan cinta pada pendidikan.
“Ketika kampung halaman mereka masih bergumul dengan air bah, Khaidar dan kawan-kawan berdiri gagah di panggung nasional. Mereka ingin menunjukkan bahwa Aceh kuat, Aceh mampu, dan Aceh tidak pernah menyerah,” tegas Aida.
Dari tengah bencana, anak-anak itu membuktikan bahwa mimpi bisa lebih kuat dari arus banjir. Mereka datang membawa harapan. Mereka pulang membawa kemenangan.***