
MAKLUMAT – Pemerintah mengisyaratkan akan melonggarkan aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) demi mendongkrak daya saing industri nasional. Kebijakan ini muncul setelah negosiasi bilateral Indonesia dan Amerika Serikat menyusul kebijakan tarif resiprokal 32 persen yang diberlakukan terhadap produk Indonesia.
Presiden Prabowo Subianto menyampaikan wacana relaksasi TKDN saat berdialog dengan asosiasi pengusaha di Jakarta, Senin (7/4/2025). Ia menilai pelonggaran diperlukan agar industri dalam negeri tidak tertinggal di pasar global. “Saya sangat nasionalis, tapi kita juga harus realistis. TKDN kalau dipaksakan, industri kita bisa kalah bersaing,” ujar Presiden.
Para pengusaha menyambut positif rencana ini. Mereka menilai TKDN yang terlalu kaku justru menjadi beban. Banyak yang mengusulkan pendekatan insentif sebagai pengganti kewajiban kandungan lokal.
TKDN dan Biaya Produksi
TKDN mengukur kontribusi bahan baku, tenaga kerja, dan proses produksi dalam negeri terhadap suatu produk atau jasa. Kebijakan ini dirancang untuk memperkuat struktur industri nasional. Namun, dalam praktiknya, aturan yang terlalu ketat justru membuat biaya produksi melonjak.
Persyaratan pabrikasi lokal, penggunaan bahan baku dalam negeri, dan penyerapan tenaga kerja lokal mengharuskan investasi besar. Imbasnya, harga jual produk menjadi lebih tinggi dan membebani konsumen.
Menurut Akbar Pratama Kartika, pakar ekonomi internasional dari Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), relaksasi TKDN adalah bentuk respons atas ketidakseimbangan struktur industri nasional. “Kemungkinan pemerintah menilai sejumlah produsen dalam negeri sudah cukup kuat untuk bersaing. Pelonggaran ini memberi ruang bagi efisiensi,” kata Akbar, dikutip dari laman UMS, Sabtu (19/4/2025).
Ia menambahkan bahwa relaksasi TKDN juga memungkinkan masuknya teknologi tinggi yang selama ini sulit diakses karena minimnya komponen dalam negeri. “Teknologi tinggi itu kita belum bisa buat sendiri. Kalau kita buka, produktivitas nasional bisa meningkat,” ujarnya.
Peluang dan Risiko
Meski berpotensi menurunkan harga produk dan meningkatkan efisiensi, pelonggaran TKDN bukan tanpa risiko. Salah satu kekhawatiran utama adalah masuknya barang impor secara masif yang bisa mematikan industri lokal.
Akbar menekankan pentingnya selektivitas. Pemerintah harus memastikan hanya sektor-sektor tertentu yang mendapatkan relaksasi, terutama yang belum kompetitif secara global.
Sektor seperti pertanian, perikanan, peternakan, makanan dan minuman olahan, serta tekstil padat karya bisa menjadi prioritas pelonggaran. Sementara itu, sektor manufaktur elektronik, otomotif, dan teknologi informasi sebaiknya tetap dikenakan kewajiban TKDN demi memperkuat struktur industri nasional. “Kita tidak bisa membuka semua sektor. Tidak semua industri kita siap bersaing,” tegasnya.
Data Produk Domestik Bruto (PDB) 2024 mencatat sektor manufaktur menyumbang 18,98% dari total PDB, atau sekitar Rp4,2 kuadriliun. Ini menunjukkan pentingnya menjaga daya saing industri manufaktur dalam negeri.
Tarik Investor, Perkuat Komunikasi
Relaksasi TKDN juga dinilai bisa menarik lebih banyak investasi asing. Dengan aturan yang lebih fleksibel, investor tak lagi merasa dipaksa untuk membangun pabrik atau menggandeng mitra lokal, seperti selama ini terjadi.
Namun, Akbar mengingatkan bahwa kebijakan ini harus dibarengi komunikasi yang kuat. Sosialisasi yang lemah akan membuat investor ragu, karena menganggap aturan lama masih berlaku.“Pemerintah harus menjual potensi Indonesia. Harus ada narasi yang menjelaskan bahwa ini adalah bentuk keterbukaan ekonomi,” kata Akbar.
Ia mencontohkan Vietnam yang berhasil menarik raksasa teknologi seperti Apple berkat fleksibilitas aturan dan kepastian hukum. Indonesia, menurutnya, punya peluang serupa asalkan mampu membangun kepercayaan dan menawarkan insentif menarik.***