MAKLUMAT – Jangan buru-buru menepuk dada. Pengakuan internasional untuk Malang dan Ponorogo yang sukses menembus Jaringan Kota Kreatif UNESCO (UCCN) 2025 memang membanggakan. Namun, penetapan ini bukan sekadar “label” elite yang bisa dirayakan dengan pesta pora dan tumpeng.
Status yang diperoleh pada 30 Oktober 2025 di Paris adalah sebuah mandat. Sebuah tanggung jawab baru yang jauh lebih berat. Sebab, pengakuan UNESCO ini bukanlah garis finis. Ia adalah tembakan pistol di garis start. Sebuah penanda dimulainya babak baru untuk mengeksekusi peta jalan ekonomi yang sesungguhnya. Peta jalan yang bertumpu pada dua pilar sekaligus: kekuatan ekonomi digital (Seni Media Malang) dan vitalitas ekonomi tradisi (Seni Rakyat Ponorogo).
Jawa Timur kini memiliki dua cetak biru hidup sekaligus. Dua “laboratorium” yang diakui dunia, dengan model yang fundamentalnya berbeda namun tujuannya sama: kesejahteraan.
Di satu sisi, ada Ponorogo, yang membuktikan bahwa akar tradisi yang kuat bisa menjadi mesin ekonomi bernilai ratusan miliar. Di sisi lain, ada Malang, yang menegaskan bahwa talenta digital adalah komoditas ekspor baru yang tak kalah menjanjikan
Strategi Cerdas ‘Pengakuan Ganda’ Ponorogo
Lihatlah Ponorogo. Bupati Sugiri Sancoko menyebut penetapan ini sebagai “kemenangan seluruh masyarakat Ponorogo”. Tapi, ada analisis yang lebih dalam dari sekadar perayaan. Kang Giri, sapaannya, menyebutnya sebagai “pengakuan ganda”. Ini adalah strategi cerdas. Reog Ponorogo, seperti diketahui, sudah berstatus Warisan Budaya Takbenda (ICH) UNESCO. Namun, status ICH hanya “melindungi” roh atau praktik seninya. Ia tidak menjamin kesejahteraan para pelakunya.
Di sinilah UCCN berperan. Status Kota Kreatif melindungi ekosistem atau tubuh yang mendukungnya. “Mulai dari seni pertunjukan, kerajinan, hingga kriya. Reog akhirnya memiliki payung yang lebih luas di jejaring global,” urai Kang Giri.
UCCN mengakui para perajin di balik layar: pembuat dadak merak komplet, topeng Bujangganong, kostum, hingga peranti gamelan. Inilah yang disebut Kang Giri sebagai “kriya”-nya. Dan dampaknya bukan main-main. Data Pemkab Ponorogo mencengangkan. Ekosistem Reog telah memberikan dampak ekonomi langsung kepada 23.840 pelaku seni pertunjukan. Omzet tahunannya menembus Rp150 miliar.
Itu baru dari pertunjukannya. Sektor kriya (kerajinan) pendukungnya, yang melibatkan 273 pelaku, menghasilkan omzet tambahan hingga Rp6,4 miliar per tahun.
Ponorogo telah membuktikan bahwa tradisi bukan hanya untuk dilestarikan, tapi bisa “dimonetisasi” secara berkelanjutan. Reog bukan lagi sekadar warisan yang membebani APBD, tapi aset ekonomi yang menghidupi puluhan ribu orang.
Malang, ‘Silicon Valley’ Baru Sektor Media Arts
Jika Ponorogo adalah cetak biru “monetisasi tradisi”, maka Malang adalah cetak biru “kapitalisasi talenta digital”. Penetapan Malang sebagai Kota Kreatif Seni Media adalah buah kerja panjang. Wali Kota Malang Wahyu Hidayat menyebutnya “bukan kerja semalam”. “Ini adalah buah kerja kolaboratif antara pemerintah daerah, komunitas, akademisi, sektor swasta, dan media,” ucapnya. Inilah yang disebut sebagai Sinergi Pentahelix.
Dalam surat resmi UNESCO, Malang dinilai memiliki kapasitas kuat dalam pengembangan Media Arts. Area ini spesifik: gim, animasi, digital storytelling, makerspace, dan dukungan aktif dari puluhan universitas serta pelaku ekonomi kreatif muda.
Status UCCN ini adalah “karpet merah” bagi Malang. Ia akan menjadi magnet baru untuk menarik investasi Venture Capital (VC) global, studio animasi dunia, dan menghentikan brain drain talenta digital terbaiknya ke Jakarta atau luar negeri.
Momentumnya pun tak bisa lebih baik. Penetapan ini diraih menjelang pelaksanaan Indonesia Creative Cities Festival (ICCF) di Kota Malang pada 8 November 2025. “Ini kado istimewa. Memperkuat posisi Malang sebagai pusat kreativitas nasional sekaligus kota dengan daya saing global,” imbuh Wahyu dikutip dari keterangan tertulis. ICCF bukan lagi sekadar festival, tapi panggung deklarasi Malang sebagai pemain baru di panggung media arts dunia.
Peta Jalan Baru Jatim
Direktur Jenderal UNESCO, Audrey Azoulay, menegaskan bahwa kota-kota ini adalah bukti kekuatan budaya sebagai “pendorong pembangunan yang konkret”. Jaringan UCCN, katanya, terbukti mampu mendukung inisiatif lokal, menarik investasi, dan mempromosikan kohesi sosial. Pernyataan Azoulay itu sejalan dengan hasil Konferensi MONDIACULT 2025: menjadikan budaya sebagai barang publik global.
Tantangannya kini adalah eksekusi. Momentum ICCF pada 8 November 2025 akan menjadi etalase untuk memamerkan cetak biru sukses Malang kepada kota-kota lain di Indonesia.
Namun, PR terbesarnya adalah: mampukah Malang dan Ponorogo mengubah ‘status’ ini menjadi ‘investasi’ konkret? Mampukah mereka membangun infrastruktur digital dan jejaring global yang lebih solid? Dan yang terpenting, mampukah mereka mengubah stempel UNESCO ini menjadi kesejahteraan nyata bagi puluhan ribu pelaku di dalamnya? Sebab, sekali lagi, ini bukan garis finis. Ini adalah mandat untuk berlari lebih kencang di lintasan ekonomi baru.***