MAKLUMAT – Pemerintah terus menggeber konsumsi dalam negeri demi mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut sektor konsumsi rumah tangga masih menjadi motor utama ekonomi, menyumbang sekitar 54 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). “Ini juga sejalan dengan arahan Presiden Prabowo Subianto untuk menggerakkan perekonomian nasional dan mengoptimalkan potensi dalam negeri,” ujar Menko Airlangga dalam keterangan tertulis dikutip pada Ahad (4/5/2025)
Langkah konkret pemerintah itu terlihat dari keberhasilan dua program belanja nasional, yaitu Friday Mubarak dan Belanja di Indonesia Aja (BINA) Lebaran, yang mencetak nilai transaksi fantastis—menembus lebih dari Rp100 triliun. “Antusiasme masyarakat dalam berbelanja produk dalam negeri sangat tinggi. Ini menunjukkan efektivitas program kolaboratif yang mendorong daya saing UMKM di pasar domestik,” kata Airlangga.
Friday Mubarak digelar pada 28 Februari hingga 28 Maret 2025. Program ini melibatkan 150 merek ritel nasional dan sukses membukukan transaksi sebesar Rp72,3 triliun. Sementara BINA Lebaran, yang berlangsung 14–30 Maret 2025 di 402 pusat perbelanjaan dengan 80 ribu gerai, mengantongi transaksi Rp32,7 triliun.
Kedua program tersebut didukung Kemenko Perekonomian dan sektor usaha melalui berbagai bazar UMKM dan diskon hingga 70 persen di pusat perbelanjaan.
Airlangga menambahkan, keberhasilan ini menjadi pemicu agar program belanja dalam negeri diperluas ke seluruh Indonesia. Tujuannya agar manfaat ekonominya dirasakan merata, tak hanya di kota-kota besar, tapi juga daerah.
Pemerintah pun telah menyiapkan serangkaian lanjutan dari program BINA untuk sepanjang 2025. Di antaranya, Jakarta Festival, Bazar UMKM Serentak di 44 Kecamatan, dan Pekan Raya Jakarta dalam rangka HUT Jakarta.
Kemudian, akan hadir BINA Back to School yang bersinergi dengan Jakarta Great Sale selama musim libur sekolah, disusul BINA 17-an alias Hari Belanja Diskon Indonesia (HBDI) saat perayaan HUT RI pada 17 Agustus 2025. Penutup tahun akan ditandai lewat BINA Diskon, Harbolnas, dan EPIC Sale.
“Rangkaian program belanja ini kami harapkan mampu mendorong peningkatan konsumsi masyarakat dan berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional di 2025,” tegas Airlangga.
QRIS Harus Dipertahankan
Pada bagian lain, pakar ekonomi makro Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Prof. Dr. Imamuddin Yuliadi meminta pemerintah mempertahankan QRIS dari intervensi asing dalam hal ini Amerika Serikat. Sistem pembayaran digital memang harus memenuhi standar global. Tetapi, bukan berarti kritik luar harus diterima mentah-mentah. “Ini momentum untuk evaluasi. Kita perlu menunjukkan bahwa QRIS dan GPN tak kalah unggul, terutama dari sisi keamanan dan efisiensi,” tegas Imam dikutip dari laman UMY, Ahad (4/5/2025).
Imam menilai, enam tahun perjalanan QRIS sudah cukup membuktikan keandalan sistem itu di lapangan. Efisiensinya terbukti mempercepat transaksi, dan sistemnya pun sudah terbukti aman. Karenanya, lanjut dia, Indonesia tak perlu ciut dengan tekanan asing. “Pemerintah dan BI harus tegas. Kritik tak harus ditelan bulat-bulat. Justru ini saatnya menunjukkan bahwa QRIS dan GPN adalah simbol kedaulatan digital kita,” tegas Imam.
QRIS sendiri saat ini telah diterapkan di seluruh Indonesia dan mulai merambah ke transaksi lintas negara. Sejumlah negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, dan Singapura sudah lebih dulu menerima QRIS sebagai metode pembayaran yang sah.
Hal itu juga ditegaskan oleh Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) DIY, Hermanto. Menurutnya, QRIS telah memenuhi standar internasional dan keamanannya dijamin oleh sistem berlapis yang diawasi ketat oleh BI. “QRIS itu sudah bekerja sama dengan negara lain. Kalau sudah diterima secara internasional, berarti sudah sesuai standar global. Ini bukan sistem main-main,” kata Hermanto dalam Seminar Digitalisasi Sistem Pembayaran yang digelar BI dan UMY, Selasa (29/4).
Hermanto juga menanggapi isu yang kerap muncul soal keamanan QRIS. Menurutnya, pemalsuan QRIS lebih banyak terjadi karena kelalaian pengguna, bukan karena celah pada sistem. “Lapisan keamanannya banyak. Sistem bank juga diawasi OJK. Tapi pengguna tetap harus teliti sebelum scan. Edukasi jadi kunci,” tambahnya.
Di sisi lain, Hermanto menilai kritik dari AS tidak relevan ketika menyasar GPN. Pasalnya, GPN memang didesain khusus untuk transaksi dalam negeri. “GPN itu lokal. Tak dirancang untuk perdagangan global. Jadi, tak ada kaitannya dengan Amerika,” tegasnya.
Menurut BI, tantangan terbesar ke depan bukan hanya menjaga kepercayaan publik terhadap sistem ini, tapi juga memperkuat kerja sama lintas negara. Edukasi terhadap konsumen terus digencarkan agar risiko pemalsuan bisa ditekan seminimal mungkin. “Dari sisi kami, keamanan terus diperkuat. Tapi masyarakat juga harus cerdas digital,” pungkas Hermanto.