MAKLUMAT — Sebanyak 21 organisasi masyarakat sipil mendesak Presiden Prabowo Subianto segera menetapkan Status Bencana Nasional untuk Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Desakan disampaikan setelah koalisi yang tergabung dalam Posko Nasional untuk Sumatera itu melihat lambannya penanganan bencana yang telah merenggut hampir seribu jiwa itu.
Data BNPB menunjukkan 985 jiwa meninggal, 226 hilang, lebih dari 5.400 warga terluka, sementara ribuan lainnya masih terisolir tanpa logistik, layanan kesehatan, sanitasi layak, maupun listrik.
Tidak hanya lamban, Koalisi menilai penanganan yang dilakukan tidak memadai karena pemerintah gagal membaca situasi faktual di lapangan. Pernyataan Presiden Prabowo yang memuji penanganan bencana nyatanya bertolak belakang dengan fakta di wilayah terdampak.
Di Aceh, akses ke banyak wilayah seperti Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Utara, dan Aceh Timur masih terputus total. Distribusi logistik hanya bisa dilakukan menggunakan helikopter atau perahu nelayan, sementara bantuan menumpuk di Bireuen dan tidak menjangkau warga di pegunungan yang terancam kelaparan.
Pengungsi terbanyak adalah bayi, anak-anak, perempuan, lansia, dan penyandang penyakit kronis. Pengungsian tidak layak, layanan medis minim, sanitasi memburuk, harga bahan pokok melonjak, dan listrik tidak stabil.
“Jika Pemerintah tidak memberi kejelasan, sebagian warga meminta kirimkan saja kain kafan, karena yang membuat orang meninggal bukan bencananya, tetapi penanganannya,” tutur Afif dari Walhi Aceh, dalam siaran pers, Sabtu (13/12/2025).
Situasi tak berbeda terjadi di Sumatera Utara. Di Sibolga, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan, puluhan titik longsor membuat sejumlah desa sepenuhnya terisolir. Warga harus berjalan menembus longsor untuk menjemput bantuan. Krisis air bersih meluas karena PDAM rusak.
Di Batang Toru, gelondongan kayu yang terseret banjir merusak jembatan dan rumah warga. Di Tapanuli Selatan, 22 orang tertimbun longsor di wilayah perkebunan dan dimakamkan secara massal. “Pencarian korban terhambat minimnya tenaga, keterbatasan alat berat, dan pemadaman listrik yang belum teratasi,” tambah Maulana Sidiq dari Walhi Sumatera Utara.
Sumatera Barat juga menghadapi dampak serupa. Banyak nagari terputus akibat jembatan runtuh dan sungai meluap. Tenda pengungsian belum layak. Anak perempuan dan laki-laki masih bercampur sehingga berisiko pada terjadinya kekerasan seksual bila penanganan tidak tepat.
“Pemerintah harus menyediakan tenda terpisah dan mempertimbangkan potensi konflik ulayat jika ada rencana relokasi karena struktur kepemilikan adat di Sumbar sangat kuat,” ujar Lany Verayanti dari Posko Sumbar Pulih.
Minimnya respons pemerintah pusat membuat warga di berbagai lokasi mendirikan hunian sementara secara swadaya. Warga di tiga provinsi mendesak Presiden untuk menetapkan Status Bencana Nasional, mengingat banyaknya korban, lambatnya distribusi logistik, dan potensi warga selamat yang justru meninggal akibat keterlambatan penanganan. Penetapan Status Bencana Nasional dinilai penting untuk membuka akses bantuan internasional, mempercepat mobilisasi helikopter dan alat berat, serta memperluas kapasitas koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. “Dalam prinsip Maximum Available Resources, negara wajib memaksimalkan seluruh sumber daya untuk menjamin keselamatan rakyat. Parameter dalam UU 24/2007 dan PP 21/2008 sudah terpenuhi. Ini sudah masuk kategori kelalaian negara,” tegas Edy K. Wahid, Pengacara Publik dari YLBHI.