MAKLUMAT— Pemilu 2029 akan menjadi ujian besar bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Perkembangan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dan dominasi pemilih dari generasi Z dan milenial menuntut penyelenggara pemilu bekerja lebih adaptif, aplikatif, dan berbasis literasi digital.
Pengamat politik Citra Institute, Efriza, menilai tantangan Pemilu 2029 jauh lebih kompleks dibanding pemilu sebelumnya. Bonus demografi membuat komposisi pemilih muda kian mendominasi, sementara arus informasi digital semakin sulit dikendalikan.
“Pada 2029, pemilih dari generasi Z dan milenial diperkirakan mencapai 60 hingga 70 persen. Ini tantangan besar bagi KPU dalam hal sosialisasi dan pendidikan pemilih,” kata Efriza di Jakarta, Senin (15/12/2025).
Menurutnya, pengalaman Pemilu Serentak 2024 menunjukkan bahwa pemilih muda cenderung menggantungkan informasi politik pada platform digital dan media sosial seperti TikTok, Instagram, dan YouTube. Karakter informasi yang mereka konsumsi pun serba singkat, visual, dan cepat.
Kondisi tersebut, kata Efriza, memaksa KPU untuk mengubah pendekatan pendidikan pemilih. Literasi demokrasi tidak lagi cukup disampaikan secara konvensional, tetapi harus dikemas secara interaktif dan relevan dengan karakter generasi muda.
“Penyelenggara pemilu harus memperkuat literasi digital yang aplikatif. Kontennya harus visual, ringkas, dan interaktif agar bisa dipahami dengan cepat oleh pemilih muda,” ujarnya.
Ia juga menyoroti ancaman penyalahgunaan AI dalam proses demokrasi, mulai dari manipulasi informasi hingga penggunaan deepfake untuk memengaruhi persepsi publik. Karena itu, KPU dinilai perlu meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar mampu membaca dan mengantisipasi perkembangan teknologi informasi.
“KPU harus punya SDM yang adaptif terhadap perubahan demografi dan teknologi. Edukasi tentang AI dan deepfake harus disampaikan dengan contoh konkret, bukan sekadar teori,” tegasnya.
Efriza mendorong KPU untuk membangun kolaborasi strategis dengan komunitas kreator digital dan pegiat literasi. Simulasi interaktif yang menunjukkan cara kerja manipulasi AI dinilai penting agar pemilih muda memiliki daya kritis terhadap informasi politik.
“Kerja sama dengan konten kreator dan penggiat digital perlu diperluas. Bahkan, KPU sebaiknya masuk ke sekolah dan kampus melalui program micro-learning tentang pentingnya pemilu dan bahaya manipulasi informasi,” pinta dia.
Tanpa terobosan yang serius, lanjut Efriza, Pemilu 2029 berpotensi terjebak dalam banalitas politik digital, yakni ramai di ruang maya, namun miskin substansi dan rentan disusupi disinformasi.***