Pemisahan Pemilu dan Risiko Keretakan Tata Kelola Politik

Pemisahan Pemilu dan Risiko Keretakan Tata Kelola Politik

MAKLUMATPutusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan jadwal pemilu nasional dan pemilu lokal dinilai sebagai manuver besar dalam lanskap politik Indonesia. Di satu sisi, kebijakan ini membuka ruang bagi penguatan demokrasi lokal. Namun di sisi lain, ia juga membawa risiko konstitusional dan tantangan baru dalam tata kelola politik nasional.

Dosen senior Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Dr. Nurul Zuriah, M.Si., melihat kebijakan pemisahan pemilu ini sebagai langkah potensial. Setidaknya untuk memperbaiki kualitas kontestasi di tingkat daerah.

“Isu-isu lokal yang selama ini tenggelam dalam narasi nasional bisa lebih terdengar. Pemilih punya ruang lebih fokus untuk menilai kapabilitas kandidat daerah, bukan sekadar ikut arus politik pusat,” ujarnya.

Pemisahan pemilu, menurutnya, membuka peluang bagi partai politik untuk lebih serius dalam proses kaderisasi. Kandidat lokal tak lagi harus ‘numpang tenar’ pada popularitas calon presiden atau tokoh nasional. Ada ruang bagi tokoh-tokoh daerah untuk bersinar berdasarkan rekam jejaknya sendiri.

Mobilisasi Massa dan Beban Anggaran

Namun, kebijakan ini juga menuntut kesiapan ekstra. Bagi partai politik, tantangannya bukan hanya mengelola dua kampanye besar yang terpisah, tapi juga menjaga sinergi antara pusat dan daerah. Jika tidak ada pengelolaan yang baik, hasilnya bisa kontraproduktif.

“Koalisi di tingkat pusat bisa berbeda dengan daerah. Ini berisiko menimbulkan disharmoni dalam perumusan kebijakan. Pembangunan nasional dan daerah bisa berjalan tidak seirama,” jelas Nurul.

Baca Juga  Jalan Panjang BEM Nusantara Jatim, Aklamasi dan Konsolidasi Lintas Kampus

Masalah anggaran juga menjadi perhatian. Dua pemilu berarti dua kali kampanye, dua kali pengamanan, dan dua kali distribusi logistik. Meskipun KPU dan Bawaslu akan mendapat beban teknis yang lebih terfokus, masyarakat bisa menghadapi kejenuhan politik karena terlalu sering dimobilisasi.

Tapi kekhawatiran yang lebih mendasar, menurut Nurul, ada pada dimensi konstitusional. UUD 1945 secara eksplisit menyatakan bahwa penyelenggaraan pemilu setiap lima tahun sekali. Sementara putusan MK membuka kemungkinan jeda antara pemilu nasional dan lokal hingga 2,5 tahun.

“Kalau tidak ada antisipasi, bisa terjadi pelanggaran konstitusi. Masa jabatan DPRD bisa molor melebihi lima tahun, atau malah terjadi kekosongan jabatan tanpa dasar hukum yang jelas,” katanya.

Bukan Sekadar Panggung Politik

Untuk itu, ia menekankan pentingnya rekayasa konstitusional, baik melalui revisi undang-undang maupun amendemen terbatas UUD 1945. Pemerintah harus segera menyusun regulasi transisi yang konkret dan operasional guna menutup celah hukum.

Nurul mengingatkan bahwa semua potensi positif dari pemisahan pemilu ini hanya bisa terwujud jika masyarakat ikut aktif. Tanpa partisipasi yang kritis dan sadar, pemilu tetap akan menjadi sekadar agenda rutin lima tahunan tanpa makna perubahan yang nyata.

“Pemilu harus menjadi alat perbaikan kehidupan masyarakat, bukan hanya panggung politik elit,” ia memungkasi.

Dengan demikian, pemisahan pemilu bukan semata soal jadwal, melainkan menyangkut arsitektur kekuasaan, konsistensi konstitusi, dan kualitas representasi politik. Jika tidak persiapan yang matang, harapan demokrasi lokal bisa berubah menjadi kebingungan sistemik.

Baca Juga  Kemiskinan dan PHK Jadi Penyebab Anak Putus Sekolah di Jawa Timur

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *