MAKLUMAT — Pendekar. Sebuah kata yang sejak kecil saya kenal lewat cerita bapak di teras rumah, sambil menyalakan rokok kretek dan menyeruput kopi hitam pekat. Di dalam kisah bapak, pendekar bukan sekadar manusia yang pandai bersilat.
Mereka adalah manusia paripurna—kuat tapi tak congkak, cakap namun tetap rendah hati, mampu menghantam tapi lebih suka merangkul. Pendekar adalah penjaga nilai, bukan pembuat gaduh.
Saya merenung. Bagaimana mungkin nilai yang begitu luhur dan agung itu runtuh hanya karena euforia? Mengapa silat, yang oleh para pendiri perguruan disulam dengan iman, akhlak, dan kedalaman spiritual, kini hanya jadi tontonan media sosial?
Tapak Suci meletakkan dasar iman dan akhlak sebagai fondasi utama. PSHT mengajarkan bahwa “Suro diro jayaningrat lebur dening pangastuti”, bahwa segala kesaktian akan luluh oleh keluhuran budi.
Pagar Nusa menegaskan, tak ada kemenangan sejati tanpa pertolongan Allah. Perisai Diri menanamkan filosofi “pandai silat tanpa cedera”, sebuah seni bela diri yang cerdas dan menjaga diri. Sementara itu, Panglipur menekankan pentingnya budi pekerti luhur dan kemampuan menundukkan ego sebagai kemenangan tertinggi.
Tapi hari-hari ini ketika bulan Syuro tiba, betapa luka hati saya menyaksikan wajah pendekar dicoreng oleh ulah yang mengatasnamakan silat. Di banyak daerah, konvoi perguruan silat yang semula diniatkan sebagai selebrasi pengesahan siswa justru berubah jadi ajang pamer kuasa.
Deru motor, sorakan liar, dan bendera-bendera perguruan yang berkibar seperti panji perang justru mengusik ketenangan warga. Di Malang, seorang pesilat meninggal dunia karena penusukan saat konvoi. Dia bentrok dengan warga, yang kini jadi tersangka.
Saya teringat pada wejangan lama: “Silat bukan sekadar seni memukul dan menangkis. Ia adalah jalan hidup.” Jalan yang menuntut kesabaran, keikhlasan, dan kedisiplinan. Seorang pesilat bukan hanya sedang melatih jurus, tetapi sedang menempuh jalan untuk menjadi manusia seutuhnya. Maka ketika pesilat kehilangan arah dan membiarkan egonya meledak di jalanan, ia sedang menyimpang dari jalan pendekar.
Tontonan bukan Tuntunan
Tapi barangkali inilah zaman yang akan diratapi para guru silat tua: zaman di mana pencak silat hanya jadi tontonan bukan tuntunan. Jurus jadi konten. Etika dibuang. Laku batin diabaikan. Yang tersisa hanya kostum hitam, sorakan massal, dan keinginan untuk terlihat paling gagah. Padahal, semakin dalam seseorang menyelami silat, seharusnya ia makin sunyi, makin tunduk pada nilai-nilai luhur yang diajarkan perguruan.
Dalam catatan IPSI, seorang pendekar adalah penjaga kebenaran, pelindung kaum lemah, penegak keadilan. Ia berani tapi tidak sombong, kuat namun tak beringas. Ia cinta tanah air, beriman, beretika, dan hidup dalam kesederhanaan serta penghormatan terhadap sesama. Pendekar, dengan demikian, bukan hasil akhir dari pengesahan semalam. Ia adalah hasil tempaan panjang. Hasil dari luka batin, pertarungan diri, dan pengendalian ego.
Konvoi yang menabrak nilai-nilai itu bukanlah jalan pendekar. Ia justru cermin dari kegagalan kita dalam menanamkan ruh silat sebagai laku hidup, bukan sekadar olahraga fisik. Kita terlalu sibuk mengesahkan pesilat, tapi barangkali lupa menggemblengnya menjadi pendekar.
Marwah Silat
Saya menulis ini bukan untuk menyalahkan anak-anak muda yang berkonvoi. Tapi untuk mengingatkan kita semua: para guru, para pengurus perguruan, para tetua silat, bahkan pemerintah. Sudah waktunya kita mengembalikan marwah silat.
Jangan biarkan warisan budaya kita dikerdilkan oleh euforia tanpa makna. Jangan biarkan nama “pendekar” hanya jadi lelucon di tengah masyarakat yang muak oleh ulah para pesilat yang tak kenal nilai.
Mari kita kembalikan pendekar ke tempatnya yang paling suci—di hati rakyat, di tengah nilai, di jalan kebenaran. Karena ketika pendekar turun dari jalan kebenaran, maka silat bukan lagi seni bela diri. Ia menjadi ancaman. Dan ketika itu terjadi, sesungguhnya bukan musuh yang kita kalahkan—tapi diri sendiri yang kita hancurkan.***