MAKLUMAT – Adalah Profesor Abdul Malik Fadjar yang mengungkapkan bahwa pembangunan demokrasi sejatinya merupakan pembangunan anak bangsa (2018), karenanya, kunci politik yang berkeadaban adalah pendidikan. Bagi Pak Malik, politik sangat berkaitan dengan kebijaksanaan dalam memperjuangkan kebajikan melalui kebijakan yang benar. Hanya anak bangsa yang berkualitas unggul yang mampu menunaikan tugas berat ini. Hanya mereka yang berbudi pekerti mulia yang tidak menyebabkan kemudaratan bagi hajat hidup orang banyak.
Kita saksikan bahwa kandidat Prabowo Subianto-Gibran telah memperoleh suara terbanyak dalam Pemilu 2024. Mereka memenangkan perlombaan, kontestasi elektoral. Masalahnya adalah kemenangan ini juga melibatkan adanya pengekalan politik dinasti yang bertentangan dengan nilai-nilai demokratis, manipulasi hukum untuk memuluskan ambisi elektoralisme, penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan sebagai pejabat publik dalam memobilisasi suara politik, dan kecurangan Pemilu, serta seterusnya. Menurut ajaran Pak Malik, semua itu adalah masalah besar.
Lebih dari itu, kemenangan politik elektoral, apalagi melalui jalan yang munkar, sebenarnya justru mengindikasikan adanya kemenangan kelompok elit tertentu yang secara sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan sangat digdaya daripada kelompok elit lainnya. Kontestasi real politic dalam konteks Pemilu kita merupakan pertarungan antar oligark. Sedangkan oligarkisme itu sendiri, sangat menentukan nasib demokrasi formal dan tentu saja, pada akhirnya demokrasi substansial di Indonesia. Yang menjadi renungan kita, bagaimana mungkin pembangunan demokrasi berlangsung dengan baik, jika Pemilu didominasi oleh aktor oligarkisme, sementara rakyat (demos) sebagai pemilik sah kedaulatan rakyat dalam sistem politik demokratis kita diterlantarkan?
Memahami Akar Persoalan
Menurut ilmuwan politik Amerika, Jeffrey Winters (2011), oligarkisme adalah pengekalan berlakunya sistem politik di tangan para oligark. Oligarki itu sendiri adalah sistem politik yang sepenuhnya dikendalikan oleh sekelompok kecil pemain politik yang punya akses luar biasa terhadap kekuasaan ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Oligarkisme tidak terjadi saat ini saja. Sejak dulu, kekuasaan politik cenderung ada dalam genggaman para oligark. Lebih dari itu, mereka juga mengkooptasi kontribusi masyarakat sipil. Akibatnya, oligarkisme menciptakan ketidakadilan politik dan memperparah ketidaksetaraan sosial dan ekonomi. Inilah akar masalah yang bisa melemahkan demokrasi dan bahkan membuatnya bangkrut.
Sebenarnya, sebelum Pemilu 2024 pun oligarkisme telah dianggap menyebabkan masalah bagi demokrasi di tanah air. Para Indonesianis seperti Warburton dan Aspinall (2019), Power dan Warburton (2020), Croissant dan Haynes (2021), serta Tomsa dan Bax (2023) memiliki kesimpulan yang konsisten bahwa oligarkisme menyebabkan pembangunan demokrasi kita berjalan mundur. Nada yang leih penuh harap muncul dari seorang analis politik dari Amerika Serikat, Dan Slater (2023). Dia menyatakan bahwa meskipun digerogoti oligarkisme yang ganas, demokrasi kita berjalan secara dinamis. Menurut pengamatannya, memang para oligarki mendukung keuangan partai-partai politik yang membutuhkan dana kampanye dalam jumlah besar.
Bahkan, menurut Muhtadi dalam “Buying Votes in Indonesia” (2018), dana oligarki itulah yang menjadi modal untuk perdagangan suara rakyat. Dalam “Money, Power and Ideology” (2013), Mietzner menyatakan bahwa pola politik predatoris yang seperti ini berlaku sejak satu dekade yang lalu. Singkatnya, oligarkisme benar-benar mengikis kedaulatan rakyat. Karena perdagangan suara politik inilah maka rakyat tidak memiliki wakil politiknya. Sementara para pemain politik elektoral merasa tidak perlu mengindahkan hati nurani rakyat, karena mereka sudah membelinya.
Pendidikan adalah Kunci
Untuk menyelesaikan masalah oligarkisme dan resiko kebangkrutan demokrasi tentu sangat sulit. Meskipun kita masih memiliki harapan. Jika kita Kembali ke nasihat Pak Malik, maka kuncinya adalah pendidikan, artinya kita harus membangun budi pekerti anak bangsa, agar ketika kelak menjadi pemimpin, mereka menyadari betapa pentingnya pembangunan demokrasi kita. Pendidikan ini melampaui sistem pendidikan formal. Pendidikan ini berkaitan dengan masalah karakter. Namun, karakter ini ukanlah hal yang bisa diformalisasikan. Karakter adalah masalah kebudayaan yang berkaitan dengan kehidupan praktis kita sehari-hari.
Kehidupan sehari-hari ini berpijak pada keteguhan dalam menggenggam nilai-nilai unggul seperti kebenaran, kebajikan, keadilan, kesetaraan, kemerdekaan, kerjasama, dan lain sebagainya. Nilai-nilai ini ada pada ajaran agama yang suci dan kearifan lokal masyarakat setempat, yang belum ternodai oleh manipulasi politik. Karena itu, untuk merestorasi proses demokratisasi Indonesia yang sehat, Prabowo-Gibran perlu secara reflektif mentransformasi diri agar mampu menetralisasi praktik oligarkisme predatoris, bukan menormalisasinya. Mereka harus menjadi teladan dalam pendidikan anak bangsa, kemudian dilanjutkan oleh para menteri dan seluruh pejabat publik yang ada. Pak Malik benar bahwa pendidikan adalah kunci pembangunan demokrasi kita.
___________
Penulis adalah peneliti di RBC Institute Abdul Malik Fadjar dan di the Alfred Deakin Institute for Citizenship and Globalization, Deakin University, Australia
Artikel ini sudah pernah dipublikasikan dengan judul yang sama di Majalah MATAN edisi 219: Oktober 2024