KEMAJUAN teknologi informasi dan komunikasi memberikan kemudahan untuk kita dalam mengungkapkan ide, baik secara tertulis maupun lisan. Namun, di balik segala kemudahan yang ada dalam kemajuan teknologi tentu terdapat rintangan atau konsekuensi yang perlu dihadapi. Salah satunya adalah ujaran kalimat kotor yang sering dilayangkan antar individu dalam dunia maya atau media sosial. Hal itu tentu harus dihadapi dengan baik oleh semua kalangan, baik oleh pemerintah maupun lapisan masyarakat.
Ujaran kalimat kotor inilah yang membuat generasi Z utamanya, semakin jauh dari nilai-nilai luhur Pancasila. Padahal, Pancasila sendiri merupakan landasan dasar negara yang menjadi pedoman. Ujaran kotor, baik di media sosial maupun media cetak otomatis bertentangan dengan moral bangsa.
Berdasarkan hasil survei, pengguna internet di Indonesia mencapai 221,56 juta orang pada tahun 2024, yang mana menunjukkan peningkatan jika dibandingkan dengan periode 2022-2023 yang terhitung sekitar 215,63 juta orang, alias meningkat 2,67 persen. Tingkat penetrasi internet Indonesia di tahun 2024 bahkan menyentuh angka 79,5 persen.
Dengan data APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) di setiap tahunnya kita juga dapat melihat tingkat perkembangan teknologi digital melalui internet sangat berpengaruh besar bagi kehidupan masyarakat, yang mana hampir 40 persen dari pengguna keseluruhan masyarakat Indonesia adalah dari generasi Z.
Berbagai aplikasi tersedia di smartphone melalui play store, mulai dari WhatsApp, Facebook, Instagram, Line, Telegram, Youtube serta aplikasi lainnya. Hal tersebut jelas mempermudah masyarakat untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara online. Baik dalam bentuk tulisan atau pesan elektronik hingga voice note dan video call. Kemudahan ini jauh dibanding zaman dahulu yang masih menggunakan surat dan harus menunggu beberapa hari untuk mendapatkan balasan.
Namun, adanya media sosial yang menyediakan aneka kemudahan atau dampak positif dalam berkomunikasi secara daring, cepat, mudah dengan ruang lingkup yang luas bagi warganet, ternyata media sosial juga memiliki dampak negatif yang tidak kalah bervariasi. Terutama sebagai sarana mempermudah dalam memberikan ujaran kebencian, kata-kata yang tidak sopan atau tidak senonoh, dan berkomentar tidak baik yang bertentangan dengan pedoman nilai pancasila. Padahal, pemicunya hanya karena adanya perbedaan pendapat ataupun pemikiran. Baik kelompok atau individu.
Prilaku negatif bermedsos tidak hanya dilakukan oleh kalangan remaja. Namun, juga banyak dilakukan orang dewasa. Mereka biasanya berlindung melalui kalimat “kemerdekaan menyatakan pendapatnya di depan umum” baik secara lisan maupun tulisan. Namun, mereka lupa sudah melampaui hak orang lain yang mana dapat menimbulkan ketidak nyamanan, mengganggu mental psikologis, hingga dapat merusak keutuhan bangsa dan negara. Melalui ujaran kebencian, komentar jahat, kata-kata yang tidak senonoh yang mungkin bagi mereka keren dan dapat melampiaskan keinginan mereka.
Seperti contoh kalimat ancaman, kalimat kotor dalam Bahasa Jawa “misuh” menggunakan kalimat-kalimat tidak senonoh seperti menyebut organ vital reproduksi laki-laki atau perempuan, hinaan, bullyan, dll. Hal tersebut bahkan dapat dibuktikan dengan bukti komentar buruk yang ada di kolom komentar yang kebanyakan membuli dan mencemooh. Perbuatan tesebut tanpa disadari sebenarnya masuk pada tindak pidana hate speech atau ujaran kebencian yang tidak bisa dianggap remeh.
Dalam hal ini, penegak hukum memiliki peran penting. Sebagai orang yang paham dan harus memiliki kesadaran hukum yang kritis, bisa melihat dan membaca situasi masyarakat serta permasalahan apa yang sekarang terjadi, penegak hukum merupakan wakil rakyat untuk membantu menciptakan dan menegakkan hukum yang adil. Norma ini menuntut supaya penegak hukum, dalam penegakannya senantiasa memperlakukan manusia sebagai manusia. Juga menuntut kewajiban dan melindungi haknya sebagai manusia, memiliki rasa keadilan menegakkan peraturan.
Seperti fenomena yang saat ini terjadi dalam masyarakat saat ini yaitu mewajarkan dan merupakan hal yang lumrah atau yang umum dalam melontarkan ujaran kebencian, kata-kata yang tidak sopan atau senonoh, berkomentar tidak baik di media sosial yang bertentangan dengan pedoman nilai pancasila. Hal tersebut merupakan tindak pidana yang tidak boleh dianggap remeh, perlu adanya kesedaran dan kerjasama antara pihak penegak hukum dan pihak masyarakat.
Maka, upaya penegakan hukum di indonesia harus diperteges lagi dengan cara-cara seperti penegak hukum dapat bekerja sama dengan platform media sosial untuk memantau dan mengawasi konten yang dipublikasikan oleh pengguna. Ini termasuk penggunaan teknologi untuk mendeteksi bahasa yang tidak pantas atau menyinggung, serta pelaporan oleh pengguna.
Juga perlu adanya edukasi publik mengenai etika penggunaan media sosial dan konsekuensi hukum dari penyalahgunaan platform ini. Kampanye kesadaran dapat membantu mencegah penggunaan kata kotor dengan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya berkomunikasi secara sopan dan bertanggung jawab. Dengan langkah-langkah ini, penegak hukum berusaha menjaga ketertiban dan kesopanan di ranah digital, melindungi pengguna dari penyalahgunaan, dan menciptakan lingkungan online yang lebih aman dan kondusif.
Sanksi yang juga dapat diterapkan dalam hal ini adalah bagaimana peran UU ITE No 1 tahun 2016 tentang teknologi dan trasaksi khusunya pada pasal 45B yang berbunyi “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).”
Maka peran dari UU ITE ini diharapkan dapat mengubah kebiasaan era gen z dalam bijak menggunakan media sosial di era digital ini.
Reporter: Nur Islami Ulil Albab, Octaviani diyah Anggraini dan
Umi waliyatin nahdhiyah