MAKLUMAT – Konflik internal di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) semakin mengeras. Dua kubu yang berselisih, yakni Kelompok Sultan, dan Kelompok Kramat, kini mengeluarkan keputusan serta klaim legitimasi masing-masing terkait kepemimpinan organisasi.
Dalam Rapat Pleno PBNU Kelompok Sultan yang digelar di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa (9/12/2025), Rais Syuriyah PBNU Prof M Nuh mengumumkan bahwa KH Zulfa Mustofa resmi ditetapkan sebagai Penjabat (Pj) Ketua Umum PBNU. Penetapan itu diambil sebagai keputusan pleno untuk mengisi sisa masa bakti hingga Muktamar NU berikutnya.
“Penetapan Pj Ketua Umum PBNU masa bakti sisa sekarang yaitu yang mulia KH Zulfa Mustofa. Beliau akan memimpin PBNU sampai Muktamar,” ujar Prof Nuh melansir laporan NU Online.
Prof Nuh menjelaskan, Muktamar ke-35 tidak dimajukan, tetapi dikembalikan pada siklus semula. “Sebelum Hari Raya Haji sudah dilakukan,” katanya.
KH Zulfa Mustofa menyatakan siap menjalankan amanah dan menyerukan persatuan. “Saya tidak ingin menjadi bagian dari konflik masa lalu. Saya ingin menjadi solusi jam’iyyah ini. Mari kita bersatu kembali di rumah besar ini,” ujarnya.
Sebelumnya, Katib Syuriyah PBNU Sarmidi Husna menyebut ada dua kandidat Pj Ketum yang dipertimbangkan, yaitu KH Zulfa Mustofa dan Prof Nizar Ali. Pada forum yang sama, Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar juga menyampaikan terima kasih kepada Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf atas pengabdiannya selama empat tahun terakhir.
Kubu Kramat: Pemberhentian Ketua Umum Tidak Sah
Di sisi lain, Kelompok Kramat– mengacu kantor PBNU Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat– menegaskan bahwa keputusan yang diklaim sebagai pemberhentian Ketua Umum PBNU melalui Rapat Harian Syuriyah pada 20 November 2025 tidak memiliki dasar hukum. Pernyataan resmi yang ditandatangani KH Yahya Cholil Staquf dan Najib Azca itu telah dikirimkan ke Kementerian Hukum dan HAM.
Menurut Kelompok Kramat, berdasarkan ART NU Pasal 40 ayat (1) huruf e, Ketua Umum adalah mandataris Muktamar. Karena itu, pemberhentian hanya bisa dilakukan melalui Muktamar Luar Biasa, sebagaimana diatur dalam ART Pasal 74.
“Keputusan pemberhentian Ketua Umum tidak memiliki landasan hukum yang sah,” bunyi pernyataan tersebut.
Kelompok Kramat juga menyebut Peraturan Perkumpulan Nomor 13 Tahun 2025 Pasal 8 terkait pemberhentian fungsionaris tidak dapat diberlakukan kepada Ketua Umum karena posisinya yang dipilih langsung muktamirin.
Mereka menilai alasan pemberhentian yang disampaikan pihak Syuriyah hanya berdasarkan dugaan tanpa proses pembuktian yang benar. Sebaliknya, kubu ini membeberkan enam dugaan pelanggaran yang dilakukan Rais Aam, mulai dari pemutusan komunikasi dengan Ketua Umum hingga pelanggaran administratif dan upaya mencari legitimasi rapat. Di tengah memanasnya situasi, para kiai sepuh dan jajaran Musytasyar PBNU disebut sedang melakukan berbagai langkah mediasi untuk mendorong rekonsiliasi antarkedua kubu.
Kelompok Kramat meminta Kementerian Hukum dan HAM tidak mengesahkan perubahan susunan PBNU 2022–2027 sampai ada kepengurusan baru yang lahir melalui Muktamar yang sah.***