MAKLUMAT — Populisme pada 2025 mengalami pergeseran bentuk yang signifikan. Jika pada dekade sebelumnya populisme bertumpu pada narasi identitas, kini ia berkembang menjadi populisme berbasis sensasi. Masalah utama yang muncul adalah runtuhnya ruang publik rasional. Politik tak lagi digerakkan oleh argumen, visi, atau kebijakan, tetapi oleh konten viral, drama personal politisi, dan kompetisi untuk menjadi pusat perhatian. Akibatnya, kualitas demokrasi menurun karena keputusan politik publik tidak lagi berdasarkan informasi, melainkan emosi sesaat.

Isu besar lain yang menyertai fenomena ini adalah peran algoritma media sosial yang memperkuat polarisasi. Sistem algoritmik dirancang untuk memprioritaskan konten yang memicu kemarahan, keterkejutan, atau sensasi. Hal ini mendorong politisi untuk beradaptasi dengan logika viral, bukan logika konstitusi. Kandidat yang kompeten tetapi tidak sensasional tenggelam, sementara politisi yang lihai memproduksi drama menjadi sorotan. Dampak jangka panjangnya adalah demokrasi berubah menjadi panggung hiburan.
Tujuan populisme sensasional sebenarnya sederhana: meraih dukungan publik dengan modal emosi, bukan ide. Pola ini bisa dilihat dari maraknya politisi yang membangun narasi ketidakpuasan publik melalui video dramatis, pernyataan kontroversial, dan permainan simbol yang hiperbolik. Seolah-olah, semakin gaduh seorang politisi, semakin kuat posisinya. Ini memperlihatkan kemunduran budaya demokrasi, di mana keseriusan digantikan performativitas.
Fenomena ini juga memunculkan konsekuensi serius terhadap kualitas kebijakan. Ketika politik diarahkan oleh sensasi, pembuat kebijakan dipaksa untuk memberikan “jawaban cepat” demi mempertahankan popularitas. Kebijakan jangka panjang yang kompleks menjadi tidak menarik dan cenderung diabaikan. Politik sensasi membuat negara berjalan tanpa roadmap yang jelas karena energi pemimpin habis untuk mengelola persepsi, bukan merancang solusi.
Lebih jauh, populisme sensasional memunculkan budaya ketidakpercayaan antar-kelompok. Ketika perbedaan politik dikemas sebagai konflik personal, imunisasi publik terhadap informasi menjadi rendah. Hoaks, rumor, dan manipulasi emosional berkembang subur. Publik menjadi korban karena tidak lagi mampu membedakan antara kritik, provokasi, dan sekadar drama politik yang diatur untuk kepentingan elektoral.
Hasil dari kondisi ini adalah melemahnya integritas demokrasi. Pemilu tidak lagi menjadi arena untuk memilih pemimpin terbaik, tetapi kontes popularitas seperti ajang selebritas. Legitimasi moral pemimpin runtuh, dan masyarakat semakin skeptis terhadap politik. Pada titik ini, demokrasi kehilangan fungsi aslinya sebagai mekanisme pengambilan keputusan bersama yang rasional.
Meskipun begitu, pergeseran ini juga membuka ruang refleksi penting. Publik mulai menyadari bahwa sensasi tidak mampu menyelesaikan persoalan negara. Banyak pihak mulai mendorong agar politik kembali ke substansi melalui pendidikan literasi politik dan kampanye publik tentang pentingnya kebijakan berbasis data. Kesadaran ini muncul dari kegagalan nyata politisi sensasional yang tidak mampu menjawab persoalan ekonomi, lapangan kerja, dan pelayanan publik.
Tindakan lain yang semakin dianggap urgen adalah reformasi algoritma platform digital. Para akademisi, aktivis, dan lembaga demokrasi mendorong agar platform media sosial bertanggung jawab terhadap penyebaran konten politik yang manipulatif. Wacana pengaturan platform menjadi bagian dari diskusi internasional, karena pengaruh mereka sudah melampaui batas negara. Tanpa reformasi digital, populisme sensasional akan terus bertumbuh.
Selain itu, institusi politik harus memperkuat mekanisme seleksi pemimpin. Partai politik perlu kembali menekankan kapasitas, integritas, dan rekam jejak dalam kaderisasi. Jika partai hanya mengikuti logika viral, maka fungsi mereka sebagai penjaga gerbang demokrasi akan hilang. Reformasi internal partai menjadi tindakan penting untuk membendung banjir populisme sensasional.
Pada akhirnya, populisme baru 2025 mengajarkan bahwa demokrasi sangat rapuh di era ketika atensi publik menjadi komoditas paling mahal. Politik akan terus tergelincir menjadi tontonan jika masyarakat tidak berperan aktif menuntut kualitas, bukan sensasi. Tantangan terbesar ke depan adalah bagaimana mengembalikan demokrasi kepada akarnya: rasionalitas, etika publik, dan kebijakan berbasis empati dan fakta. Demokrasi hanya dapat bertahan jika kita semua menolak menjadi penonton dan kembali menjadi warga negara yang kritis.