
MAKLUMAT — Guru Besar Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Esa Unggul Jakarta, Prof Dr Juanda SH MH, menanggapi gugatan Lokataru ke PTUN terhadap Presiden lantaran dianggap melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige overheisdaad) akibat tidak mencopot Yandri Susanto dari jabatannya sebagai Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Mendes PDT).
Menurutnya, persoalan tersebut harus dikaji secara objektif dan komprehensif. Prof Juanda menilai bahwa kewenangan untuk mengevaluasi dan memutuskan seorang menteri layak dipertahankan atau diberhentikan adalah otoritas absolut, alias hak prerogatif Presiden.
Pria yang juga merupakan Founder TREAS Constituendum Institute itu menegaskan, otoritas yang absolut atau hak prerogatif Presiden itu dengan jelas diberikan oleh konstitusi dan Undang-Undang (UU) yang berlaku.
Dalam hukum tata negara dan hukum administrasi negara, khususnya berdasarkan UU Nomor 61/2024 yang merupakan perubahan atas UU Nomor 39/2008 tentang Kementerian Negara Jo. UU Nomor 30/2014 tentang administrasi pemerintahan, Prof Juanda menilai belum ditemukan adanya unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Presiden dengan tidak memberhentikan Yandri Susanto dalam kaitannya dengan amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Sengketa Pilkada Kabupaten Serang beberapa bulan yang lalu.
“Apalagi dalam amar putusan MK dan diktumnya tidak satu pun menyatakan ada kewajiban atau memerintahkan Presiden untuk memberhentikan Pak Yandri Susanto dari Menteri Desa dan PDT sebagai konsekuensi dari tindakannya, yang dianggap ikut melakukan perbuatan secara masif, terstruktur, dan sistematis dalam rangka pemenangan istrinya di Pilkada Kabupaten Serang,” ujarnya dalam keterangan yang diterima Maklumat.ID, Jumat (18/4/2025).
“Terlepas dari amar putusan MK itu didukung oleh pembuktian yang valid atau masih diragukan kebenarannya oleh Pak Yandi Susanto, tentu sebagai warga negara yang taat pada hukum, maka harus diterima dengan legowo,” sambung Prof Juanda.
Sebab itu, menurut dia, momen Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Kabupaten Serang pada tanggal 19 April 2025 nanti akan menjadi tantangan tersendiri bagi Yandri Susanto dan timnya, untuk membuktikan bahwa kemenangan pasangan 02 pada Pilkada Kabupaten Serang bukan dihasilkan atas perbuatan cawe-cawe yang melanggar hukum, ataupun akibat dari pengaruhnya secara masif, terstruktur dan sistematis.
Prof Juanda berkeyakinan bahwa gugatan yang dilayangkan Lokataru ke PTUN terhadap Presiden sangat lemah, sehingga sulit untuk diterima secara hukum.
“Terlepas dari itu semua dan apa pun hasil dari PSU 19 April 2025, saya berpendapat bahwa gugatan Lokataru yang hanya didasarkan pada amar putusan MK, sehingga Presiden dianggap membiarkan dengan tidak memberhentikan Pak Yandri Susanto, sehingga dianggap dan dikualifikasi sebagai perbuatan melawan hukum penguasa, sangat lemah dan sulit diterima secara hukum,” tegasnya.
Prof Juanda menerangkan, untuk membuktikan perbuatan melawan hukum penguasa (Presiden) atas alasan tersebut sangat sulit diterima. Termasuk, sulit juga untuk mengukur tingkat kerugian bagi masyarakat, lalu masyarakat yang mana yang dirugikan, dan sebagainya.
“Harus jelas dan konkrit, apakah seluruh masyarakat Kabupaten Serang, selanjutnya kerugian dalam bentuk apa, material atau immaterial, di dalam hukum harus juga mampu membuktikan baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Belum lagi membuktikan legal standing para penggugat misalnya, semua harus dibuktikan secara hukum,” jelasnya.
Prof Juanda kembali menegaskan bahwa pengangkatan maupun pemberhentian menteri adalah sepenuhnya otoritas atau hak prerogatif Presiden dan sebab itu tidak bisa dijadikan sebagai objek gugatan perbuatan melanggar hukun penguasa.
Jika gugatan tersebut diterima atau bahkan dikabulkan, menurutnya justru akan mereduksi dan mendagradasi wewenang atau hak prerogatif Presiden yang telah diberikan oleh Konstitusi.
“Apalagi hak prerogatif Presiden itu adalah hak istimewa, mandiri, dan mutlak, yang diberikan oleh Konstitusi atau UUD NRI Tahun 1945 dan UU Kementerian Negara kepada Presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara,” sebutnya.
“Apabila Presiden dalam menjalankan hak prerogatifnya dianggap sebagai perbuatan melawan hukum penguasa, maka dengan sendirinya secara hukum, PTUN tidak hanya telah mengabaikan dan melanggar Konstitusi atau UUD NRI 1945, tetapi juga mengangkangi UU Kementerian Negara,” tambah Prof Juanda.
Atas kajian dan pertimbangan tersebut, ia meyakini dan memprediksi bahwa gugatan Lokataru bakal sangat sulit diterima secara hukum, lantaran dasar dan alasan hukumnya yang memang dinilai sangat lemah.
“Sehingga perbuatan Presiden yang tidak memberhentikan Pak Yandri Susanto dari Mendes PDT bukan Perbuatan melawan hukum penguasa (onrechtmatige overheidsdaad), tetapi perbuatan yang sesuai dengan Konstitusi dan Peraturan Perundang-undangan, serta asas-asas umum pemerintahan yang baik,” pungkas Prof Juanda.