22.6 C
Malang
Selasa, Desember 17, 2024

Pemkot Surabaya Datangkan 5 Mobil Listrik

Pemkot Surabaya mendatangkan lima unit mobil listrik untuk kebutuhan kedinasan.

UMM Cetak Pemimpin Masa Depan Melalui LKMM

MAKLUMAT – Universitas...
KilasPrabowo Usulkan Pilkada lewat DPRD, Pakar Hukum UM Surabaya: Butuh Analisa Mendalam

Prabowo Usulkan Pilkada lewat DPRD, Pakar Hukum UM Surabaya: Butuh Analisa Mendalam

Pilkada lewat DPRD
Ilustrasi pelaksanaan Pilkada Serentak 2024. Prabowo Subianto mengusulkan Pilkada lewat DPRD. Foto:Canva

MAKLUMAT — Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini mengemukakan sebuah wacana yang cukup kontroversial: Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sebaiknya tidak lagi dilakukan secara langsung oleh rakyat, melainkan melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Usulan ini bukanlah hal baru. Sistem pemilihan serupa pernah diterapkan pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, yang tak lain adalah mertua Prabowo Subianto.

Tanggapan atas usulan ini datang dari berbagai pihak, salah satunya Satria Unggul Wicaksana, seorang pakar hukum dari Universitas Muhammadiyah Surabaya. Menurut Satria, ada beberapa hal penting yang perlu dicermati dalam pernyataan Prabowo, baik dari segi substansi maupun konteks politik saat ini.

Evaluasi Pilkada Serentak

Salah satu aspek pertama yang Satria soroti adalah terkait dengan evaluasi pelaksanaan Pilkada serentak. Ia mencatat, bahwa meskipun sistem ini dirasa mahal, efisiensi dan efektivitasnya patut dipertanyakan. Biaya tinggi yang dikeluarkan untuk pelaksanaan Pilkada serentak sering kali tidak sebanding dengan manfaat yang dihasilkan.

“Saya khawatir, ide ini muncul bukan dari Prabowo sebagai presiden, tetapi lebih sebagai ketua partai yang kalah di beberapa daerah penting, seperti Jakarta,” ujar Satria seperti dilansir laman UM Surabaya. Dalam pandangannya, ide tersebut bisa jadi merupakan respons terhadap kekalahan politik di beberapa wilayah yang penting bagi Prabowo dan partainya.

Prabowo mengemukakan bahwa ia terinspirasi oleh sistem yang diterapkan di negara-negara seperti Malaysia, India, dan Singapura, yang memiliki sistem parlementer. Di negara-negara tersebut, kekuasaan parlemen jauh lebih dominan, bahkan untuk memilih perdana menteri. Namun, menurut Satria, perbandingan ini tidak bisa langsung diterapkan di Indonesia.

“Di Indonesia, sistem Pilkada merupakan hasil dari reformasi dan desentralisasi kekuasaan. Itu adalah sebuah nilai yang lahir setelah era Orde Baru, yang memberikan hak yang lebih luas kepada rakyat untuk memilih pemimpin mereka,” jelasnya. Jadi, membandingkan Indonesia dengan negara-negara parlementer ini bukanlah hal yang relevan.

Satria menyoroti adanya praktik politik uang dan jual beli rekomendasi dalam pelaksanaan Pilkada yang menjadi masalah serius bagi demokrasi Indonesia. Fenomena ini, menurutnya, tidak hanya merusak integritas demokrasi, tetapi juga menggerogoti prinsip negara hukum.

“Pilkada yang seharusnya menjadi arena demokrasi sering kali diwarnai oleh budaya politik uang. Ini membuat biaya politik semakin tinggi dan membuka ruang bagi jual beli suara atau rekomendasi,” ungkap Satria.

Bahkan, dalam beberapa kasus, hal tersebut bisa menciptakan situasi di mana ‘kotak kosong’ menjadi pesaing utama dalam pemilihan, hanya karena perilaku elit politik yang salah dalam berkontestasi.

Mencermati Tujuan Wacana

Satria mengingatkan, penting untuk tidak melihat ide perubahan sistem Pilkada ini hanya sebagai usaha untuk memenuhi kepuasan pihak-pihak tertentu dalam dunia politik.

Sebaliknya, wacana ini harus dilihat dari sejauh mana ide tersebut akan memberikan manfaat bagi masyarakat, apakah ide ini benar-benar diterima oleh konstituen, dan apakah hal ini akan membawa kebaikan bagi bangsa ke depan.

“Perubahan seperti ini membutuhkan analisis yang mendalam, tidak bisa hanya berdasarkan pada kepentingan sesaat. Kita harus memikirkan dampaknya bagi masyarakat secara keseluruhan,” pungkasnya.

Sebagai wacana yang kontroversial, usulan Prabowo mengenai sistem Pilkada ini pastinya akan terus menjadi perbincangan hangat. Sebagian pihak mendukung, sementara yang lainnya merasa khawatir terhadap dampak yang bisa ditimbulkan.

Namun, yang pasti, ide ini perlu dibahas lebih jauh untuk mencari solusi terbaik bagi masa depan demokrasi Indonesia

spot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

Ads Banner

Lihat Juga Tag :

Populer