MAKLUMAT – Muhammadiyah sekarang ini bisa disebut sebagai ormas tertua di Indonesia. Lebih dari seabad menunjukkan darma dan baktinya yang sejati kepada Ibu Pertiwi. Dalam usia 112 tahun, tidak berlebihan jika sebagian masyarakat menyebut bahwa organisasi yang dirintis Kiai Ahmad Dahlan itu telah kenyang dengan pasang surut, asam manis, dan pahit getir dinamika berbangsa dan negara.
Ketika banyak protes dan kritik pedas kepada Muhammadiyah saat ditawari pemerintah Jokowi mengelola tambang beberapa waktu lalu, Ketua PP Muhammadiyah Prof Syafiq Mughni berseloroh dan secara “sombong” menyatakan, “Jangankan diserahi mengurus tambang. Mengurus negara pun sangat siap.” Tradisi ilmiah, rekam jejak sejarah, dan SDM yang melimpah di Persyarikatan memperkuat pernyataan itu.
Dalam konteks peringatan Milad ke-112 sekarang, rasanya pantas banyak elemen masyarakat baik yang secara afiliatif dan ideologis terkait maupun unsur masyarakat umum mencoba memotret prestasi dan prestise organisasi ini. Semua itu dengan harapan bahwa apapun yang tergambar dari suara dan persepsi publik bisa dijadikan telaah kritis bagi pemangku kepentingan internal. Tidak jumawa karena usia dan jasa-jasa kepada negara.
Citra Politik Positif
Ada hasil survei yang dilakukan Kompas cukup menarik. Litbang Kompas menunjukkan, mayoritas responden menilai Muhammadiyah bisa menjaga netralitasnya dalam pemilihan umum (Pemilu) 2024. Adapun penelitian ini dilakukan guna memotret peran Muhammadiyah yang hari ini memasuki usia 112 tahun setelah didirikan KH. Ahmad Dahlan 1912 silam.
Jajak pendapat ini dilakukan melalui telepon pada 21 hingga 23 Oktober 2024 dengan 540 responden dari 38 provinsi. Sampel ditentukan secara acak sesuai jumlah penduduk di setiap provinsi. Survei ini memiliki tingkat kepercayaan 95 persen dan margin of error penelitian sekitar 4,21 persen.
Peneliti Rangga Eka Sakti mengatakan, jumlah responden yang menilai Muhammadiyah bisa bersikap netral mencapai 73 persen. “Meskipun punya pengaruh besar, Muhammadiyah dinilai mampu menjaga jarak dengan politik kekuasaan. Setidaknya selama perhelatan Pemilu 2024, publik memandang Muhammadiyah relatif mampu menjaga netralitasnya,” kata Rangga sebagaimana dikutip dari Kompas.id, Senin (18/11/2024).
Litbang Kompas juga menemukan persepsi masyarakat yang mengakui peran Muhammadiyah dalam lanskap politik. Namun, politik di sini memiliki makna bagaimana Muhammadiyah andil dalam perubahan demi kemaslahatan bangsa. “Tidak heran jika kemudian ormas keagamaan yang lahir pada 1912 ini lebih dipersepsikan memiliki peran politik kebangsaan yang lebih menonjol dibandingkan dengan politik elektoral atau kekuasaan,” tuturnya.
Sementara ketika ditanyakan harapan masyarakat, responden berharap Muhammadiyah bisa tetap terlibat dalam upaya menjaga toleransi beragama (39,8%), ikut menyuarakan kepentingan masyarakat umum (28,4%), memajukan dunia pendidikan di Indonesia (18,2%), ikut mengawasi jalannya pemerintahan (5,3%), memajukan kualitas pelayanan kesehatan (3,5%), tidak ada (0,1%) dan tidak tidak tahu (4,7 %).
Polarisasi Politik Absolut
Walaupun survei pendapat dalam khazanah ilmu komunikasi tergolong persepsi, yaitu suatu kesan sesaat seseorang akibat apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan secara umum, tapi hasilnya bisa menjadi ukuran evaluasi dan proyeksi kebijakan dan program ke depan (Jennifer Foller, 1986). Dalam perspektif politik, sikap Muhammdiyah yang mengambil peran menjadi agent of political change di ranah politik kebangsaan, bukan day to day politic, telah dirasakan manfaatmya oleh warga Persyarikatan dan masyarakat luas.
Belajar dari pengalaman Pilpres 2024 lalu yang mengalami polarisasi pilihan politik sangat keras – untuk tidak menyebut radikal – di kalangan warga dan sebagian pimpinan Muhammadiyah, rupanya institusi harus lebih sering mengedukasi warga dan pimpinan di akar rumput tentang positioning politik itu. Gerakan JipolMu alih-alih mendapat respon positif dan akomodatif, realitasnya di lapangan justru banyak mendapat jawaban negatif dan konfrontatif,
Pemerintahan baru Prabowo-Gibran telah berjalan untuk lima tahun ke depan. Setidaknya ada 6 kader Muhammadiyah mendapat amanah strategis di sana. Belum terhitung mereka yang secara ideologis satu visi dengan Persyarikatan. Meminjam istilah Mitsuo Nakamura peneliti Muhammdiyah dari Jepang, posisi politik Muhammadiyah sebagai mitra loyal tapi kritis bagi pemerintah telah mengantarkan organisasi ini tetap eksis dan berkembang sampai sekarang (Bulan Sabit Terbit Di Atas Pohon Beringin edisi Revisi, Oktober 2017).
Menganggap kontestasi politik secara absolut sebagaimana kita memahami akidah dan ibadah mahdhah adalah sikap yang keliru dan membahayakan. Padahal, dinamika politik kita sangat cair dan dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah dikatakan, masalah politik masuk muamalah dan al umuru al dunyawiyah. Jangan sampai setiap ada Pilpres, Pileg, dan Pilkada kita saling olok hanya karena perbedaan preferensi politik. Sikap politik jangka pendek yang sangat tidak berkemajuan!
* Penulis adalah Pemimpin Redaksi MATAN dan Wakil Ketua MPID PWM Jatim