Prof. Dyah Mutiarin: Meredam Quiet Quitting dengan Budaya Apresiatif

Prof. Dyah Mutiarin: Meredam Quiet Quitting dengan Budaya Apresiatif

MAKLUMAT — Prof. Dr. Dyah Mutiarin, S.IP., M.Si. menyambut tamu dengan senyum hangat dari ruang kerjanya di lantai atas Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Sebagai Guru Besar Ilmu Pemerintahan dan Wakil Rektor Bidang Sumber Daya, ia tidak hanya mengurus administrasi. Ia juga mengamati perubahan besar dalam dunia kerja—fenomena yang belakangan ini muncul dengan istilah quiet quitting. “Orangnya masih datang kerja, tapi semangatnya tidak ikut masuk kantor,” ujar Prof. Arin dikutip dari laman UMY.

Ia memaknai quiet quitting sebagai kondisi di mana pegawai hadir secara fisik namun berhenti secara emosional. Mereka tetap menjalankan tugas pokok, tetapi menahan inisiatif, menutup keterlibatan emosional, dan menarik diri dari komitmen jangka panjang. Menurutnya, fenomena ini muncul akibat pergeseran nilai di tempat kerja, terutama di kalangan generasi muda.

Prof. Arin membandingkan kultur kerja antar generasi. Ia melihat generasi X dan Y menunjukkan loyalitas dan rasa syukur saat mendapatkan pekerjaan. Sementara Gen Z menuntut makna, kenyamanan, dan keseimbangan hidup. Generasi muda tidak ragu berpindah pekerjaan jika merasa tidak cocok. Bahkan sebelum benar-benar pindah, mereka lebih dulu melakukan quiet quitting.

“Sekarang peluang kerja banyak. Ketika mereka tidak nyaman, mereka tidak ragu untuk mundur perlahan,” jelasnya.

Ia mengidentifikasi empat faktor utama yang mendorong quiet quitting: ketidakjelasan jenjang karier, sistem penghargaan yang tidak transparan, budaya kerja yang tidak menghargai, dan kebutuhan akan work-life balance yang semakin tinggi. Ia menilai keempat faktor ini bisa memicu krisis motivasi jika institusi tidak segera mengambil langkah perbaikan.

Baca Juga  UMY Lantik 5 Wakil Rektor Baru, Perkuat Komitmen Menuju Kampus Muda Mendunia

Namun, Prof. Arin memilih bergerak daripada mengeluh. Ia membawa keresahan itu ke meja kebijakan dan menerapkannya di UMY. Sebagai pimpinan yang membawahi sumber daya manusia, ia mendorong UMY untuk menciptakan iklim kerja yang sehat dan apresiatif.

“Kami menerapkan Sistem Kinerja Pegawai (SKP) dan sedang menjalankan sistem remunerasi sebagai bentuk penghargaan atas kerja keras pegawai,” ungkapnya.

Ia percaya sistem penghargaan yang jelas dan adil mampu mendorong karyawan untuk tetap berkontribusi maksimal. UMY juga menyiapkan fasilitas penunjang kesejahteraan, seperti pemeriksaan kesehatan tahunan dan wisata kampus sebagai bentuk apresiasi.

UMY juga menyusun jenjang karier untuk tenaga kependidikan. Ia menyebut jenjang karier dosen sudah mapan. Kini, UMY sedang menyusun sistem karier bagi tenaga kependidikan agar mereka memiliki arah dan kesempatan berkembang.

“Jenjang karier itu penting untuk memupuk semangat. Kami ingin semua pegawai punya arah dan merasa dihargai,” ujarnya.

UMY juga menunjukkan kepedulian terhadap pegawai non-permanen, seperti Temporary Staff (TS) dan peserta Alumni Talent Academy (ATA). Meski berstatus magang, mereka tetap mendapatkan gaji layak dan Tunjangan Hari Raya (THR). UMY memastikan hak-hak dasar mereka terpenuhi.

“Kami tidak ingin membeda-bedakan. Kami memberikan hak layak untuk semua, termasuk tenaga non-pegawai,” tegasnya.

Tempat Kerja Manusiawi

Prof. Arin menekankan pentingnya membangun tempat kerja yang manusiawi. Ia menginginkan UMY menjadi institusi yang memanusiakan pekerjanya. Ia percaya lembaga yang memperhatikan kesejahteraan pegawainya akan tumbuh bersama mereka.

Baca Juga  Revolusi Mental ala Shin Tae-yong: Timnas Indonesia Kini Berani Hadapi Siapa Saja

“Orang bekerja bukan hanya untuk menggugurkan kewajiban. Mereka ingin dihargai, diakui, dan tumbuh,” tuturnya penuh keyakinan. “Kalau institusi bisa memberikan itu, pegawai tidak akan quiet quitting. Mereka akan tinggal, dan berkembang bersama.”***

*) Penulis: Edi Aufklarung

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *