PEMILIHAN umum (Pemilu) 2024 semakin dekat. Para calon anggota legislatif (caleg) maupun kandidat presiden dan wakil presiden tampak telah mempersiapkan diri untuk bisa terpilih. Selain siap-siap mengumbar janji manis kepada masyarakat, mereka juga tampaknya telah menyiapkan amunisi. Ya, banyak di antara mereka (calon) telah bersiap menebar amplop berisikan uang atau bingkisan sembako.
Praktik yang lazim disebut politik uang (money politic) itu bisa dimaknai sebagai upaya memengaruhi pilihan pemilih (voters) atau penyelenggara pemilu dengan sebuah imbalan berupa uang, sumbangan atau bentuk lainnya. Biasanya, hal tersebut digunakan untuk mempengaruhi proses atau hasil politik, dalam hal ini hasil Pemilu.
Pemberian atau rasuah yang melibatkan kandidat atau calon, partai politik, dan atau kelompok kepentingan tertentu itu dilakukan tidak lain dengan harapan mereka (pelaku) memperoleh keuntungan politik atau pengaruh yang lebih besar di masa depan. Praktik politik uang yang dilakukan biasanya berupa pemberian sumbangan langsung, membantu pengeluaran dana kampanye, lobby, atau penggunaan sumber daya finansial lainnya untuk mempengaruhi hasil politik.
Penulis menilai, ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya politik uang dalam Pemilu di Indonesia. Salah satunya adalah ketergantungan masyarakat terhadap dana kampanye. Seorang calon pastinya membutuhkan dana besar untuk bisa mengamankan dukungan, berkampanye, dan untuk bisa meraih memperoleh suara. Jika sumber dana yang legal dan transparan terbatas, kemungkinan seorang calon terpilih rendah. Maka calon cenderung mencari dana tambahan dari sumber yang tidak sah, termasuk praktik politik uang.
Selain itu, ada faktor ekonomi informal. Indonesia memiliki sektor informal yang besar dan sebagian besar penduduk masih bergantung pada ekonomi informal. Hal ini dapat menciptakan lingkungan dimana politik uang menjadi lebih umum, karena masyarakat dapat merasa tergantung pada dukungan finansial dari kandidat politik tertentu.
Faktor lainnya adalah keterbatasan pengawasan dan kurang tegasnya penegakan hukum. Meski, ada undang-undang dan lembaga yang bertanggung jawab untuk mengawasi dan mengendalikan praktik politik uang, namun penegakkan hukum sering kali masih terbatas. Hal itu ditengarai terjadi karena kurangnya sanksi tegas dan efektif yang memberi efek jera, sehingga dapat mempersempit praktik politik uang.
Tingginya biaya politik juga jadi faktornya. Ya, biaya politik yang tinggi dalam Pemilu di Indonesia dapat memperkuat praktik politik uang. Dimana calon sering kali menghadapi tekanan untuk bisa memenuhi harapan pendukung dan pemilih. Hal itu dapat memicu terjadinya praktik politik uang untuk memperoleh dukungan yang cukup.
Fenomena praktik politik uang sering dikritik karena dapat merusak integritas sistem politik, dan juga mengancam perkembangan demokrasi di Indonesia. Juga ditengarai merugikan kepentingan publik secara keseluruhan. Praktik politik uang bahkan ditengarai sebagai pintu masuk terjadinya korupsi di Indonesia.
Maka berbagai upaya dilakukan untuk mengatur dan membatasi terjadinya praktik politik uang. Yang biasanya dilakukan dalam bentuk pemberian uang tunai, hadiah, bantuan materi, dan janji-janji untuk mempengaruhi pemilih. Sebab, dalam Pemilu Indonesia, potensi politik uang masih merupakan masalah yang signifikan
Pemerintah dan lembaga terkait terus berupaya meningkatkan kesadaran, pengawasan, dan penegakan hukum terkait politik uang dalam pemilu. Langkah-langkah seperti melibatkan masyarakat sipil, meningkatkan transparansi keuangan partai politik, dan menggalakkan pendidikan politik yang sehat. Hal itu diharapkan dapat membantu mengurangi potensi politik uang dalam pemilu Indonesia.
Nah, Quo Vadis Praktik Politik Uang dalam Pemilu di Indonesia? “Quo vadis” adalah frasa latin yang berarti “kemana engkau pergi”. Dalam konteks politik uang, frasa ini menggambarkan mengenai arah atau tujuan politik uang di masa depan.
Politik uang adalah fenomena yang kompleks dan sulit untuk dihapus sepenuhnya. Meski banyak upaya telah dilakukan untuk mengatasi praktik politik uang. Namun, ada beberapa arah yang mungkin dapat diambil dalam menghadapi politik uang.
Arah pertama yang perlu dilakukan adalah reformasi hukum dan penegakkan yang lebih kuat. Penting untuk memiliki kerangka hukum yang kuat dan jelas untuk mengatur praktik politik uang. Hal ini harus didukung oleh penegakan hukum yang tegas dan efektif, dengan sanksi yang berat bagi pelanggar. Penguatan lembaga pengawasan dan penegakan hukum juga penting untuk mencegah dan mengendalikan praktik politik uang.
Selanjutnya, pentingnya pendidikan politik dan penguatan kesadaran masyarakat. Yang mana pendidikan politik yang baik dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak negatif dari politik uang terhadap demokrasi dan kepentingan publik. Masyarakat yang teredukasi dapat lebih mampu mengidentifikasi dan menolak praktik politik uang, serta memilih pemimpin berdasarkan kualitas dan visi mereka, bukan berdasarkan uang.
Kemudian adanya transparansi dan akuntabilitas. Semua pihak perlu mendorong transparansi keuangan dalam politik dan memperkuat pengawasan terhadap sumber dan penggunaan dana kampanye politik dapat membantu mengurangi praktik politik uang. Partai politik, calon, dan pemegang kekuasaan harus diwajibkan untuk melaporkan dengan jelas asal usul dan penggunaan dana politik mereka.
Tak kalah penting adlah partisipasi publik dan pemetaan kepentingan. Salah satunya dengan cara mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam politik dapat membantu mengurangi ketergantungan pada dana politik. Memperkuat partisipasi publik dan membangun mekanisme untuk menggambarkan kepentingan masyarakat dapat membantu menciptakan sistem politik yang lebih berkeadilan.
Meski tantangan dalam mengatasi politik uang sangat besar, dengan pendekatan yang komprehensif dan upaya yang berkelanjutan dari berbagai pihak, besar harapan adalah dapat mengurangi praktik politik uang secara signifikan dalam sistem politik. (*)
Antonius Widiyo Utomo, Penulis adalah anggota LHKP PWM Jawa Timur dan Sekretaris MHH PDM Kota Malang