MAKLUMAT — Sejarah bangsa Indonesia penuh dengan tokoh besar yang berjuang bukan hanya dengan senjata, tetapi juga dengan gagasan, karya, dan pengorbanan luar biasa. Salah satu tokoh yang selama ini luput dari penghormatan resmi sebagai Pahlawan Nasional adalah R.M. Margono Djojohadikoesoemo—seorang pendiri ekonomi nasional yang jejaknya begitu dalam dalam membangun kemandirian bangsa.
Latar Belakang
Margono lahir pada 16 Mei 1894 di Banyumas, Jawa Tengah, dari keluarga priyayi keturunan bangsawan. Ayahnya, Raden Tumenggung Mangkuprodjo, adalah pejabat kolonial yang tetap menjaga nasionalisme di tengah tekanan Belanda. Keturunan beliau menelusuri garis dari Raden Joko Kahiman, pendiri Banyumas, hingga ke Raden Tumenggung Banyakwide, tokoh dalam Perang Diponegoro. Sejak muda, Margono terbiasa hidup dalam spirit pengabdian, keberanian, dan kecintaan terhadap tanah air.

Pendidikannya di Europeesche Lagere School (ELS) dan kemudian di Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) bukan hanya membentuk kecerdasan akademiknya, tetapi juga menajamkan visinya tentang bagaimana ekonomi rakyat harus menjadi tulang punggung bangsa.
Karier Margono sebagai pegawai negeri di bidang kredit rakyat di Volkscredietwezen memperlihatkan betapa serius ia memperjuangkan ekonomi rakyat kecil. Ia bukan sekadar pejabat administratif; ia adalah seorang visioner yang menyadari bahwa kebangkitan bangsa hanya mungkin terjadi jika ekonomi rakyat berdaulat.
Pada masa pendudukan Jepang, Margono tetap bekerja membangun basis koperasi untuk rakyat, bahkan ketika situasi politik penuh tekanan dan ketidakpastian. Ia lalu dipercaya sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), forum intelektual paling bergengsi pada masa itu, tempat para tokoh bangsa menggagas fondasi negara merdeka.
Setelah kemerdekaan, Presiden Soekarno mempercayakan Margono sebagai Ketua pertama Dewan Pertimbangan Agung (DPA)—posisi strategis untuk mengawal arah kebijakan nasional.
Namun, karya agungnya adalah pendirian Bank Negara Indonesia (BNI) pada 5 Juli 1946. Saat itu, negara tidak memiliki kas, tidak punya cadangan devisa, bahkan tidak punya kekuatan finansial sedikit pun. Belanda mengunci seluruh aset. Di tengah kekosongan itu, Margono berinisiatif menciptakan lembaga keuangan nasional.
Ia bahkan menggunakan harta pribadi dan reputasinya untuk menjamin bank baru tersebut. Tindakan ini sejatinya adalah bentuk jihad ekonomi dalam arti yang sesungguhnya. BNI menjadi bukan hanya bank pertama Indonesia, tapi juga simbol kedaulatan ekonomi di hadapan dunia.
Darah, Air Mata, dan Kehormatan
Margono bukan hanya berjuang dengan ide dan kerja keras. Ia juga berkorban secara pribadi: dua putranya, Soebianto dan Soejono Djojohadikoesoemo, gugur dalam Pertempuran Lengkong melawan pasukan Jepang. Ini membuktikan bahwa semangat perjuangannya menurun kepada generasi penerusnya.
Salah satu anaknya, Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo, kelak menjadi arsitek ekonomi Indonesia modern. Cucu-cucunya, seperti Prabowo Subianto dan Hashim Djojohadikusumo, meneruskan nilai-nilai kepemimpinan, nasionalisme, dan pengabdian kepada negeri.
- Kontribusi Konkret: Margono mendirikan BNI, institusi strategis negara yang berperan vital dalam membiayai pertahanan, diplomasi, dan pembangunan pasca-kemerdekaan.
- Keteladanan Moral: Ia mengutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi, bahkan berani menggadaikan kekayaan sendiri untuk negara.
- Pengorbanan Keluarga: Dua putranya gugur dalam perjuangan bersenjata, menunjukkan bahwa seluruh keluarganya menyerahkan jiwa dan raga untuk republik.
- Warisan Nilai Abadi: Hingga kini, nilai-nilai yang ia tanamkan hidup dalam dunia perbankan nasional dan dalam karakter generasi penerus bangsa.
Maka, mengapa bangsa ini menunda lebih lama lagi untuk memberikan penghormatan tertinggi kepada beliau? Penghargaan bukanlah semata-mata untuk mengangkat satu nama, melainkan untuk membangunkan ingatan kolektif bangsa: bahwa kemerdekaan kita berdiri di atas keringat, darah, dan kecintaan yang murni dari tokoh seperti R.M. Margono Djojohadikoesoemo.