MAKLUMAT – Kegelisahan Ichsanuddin Noorsy terhadap carut marut kondisi dalam negeri ia tuangkan dalam bentuk buku. Cukup banyak kritik tajam yang ia sampaikan kepada petinggi negeri dalam buku berjudul Prahara Bangsa.
Sorotan paling pokok adalah tata negara yang berimbas pada sektor lain. Sebut saja ekonomi, hukum, maupun kesejahteraan sosial masyarakat.
“Reformasi 1998 tidak membawa perubahan signifikan. Kita masih menghadapi krisis konstitusi dan ketidaksetaraan ekonomi,” kata Ichsanuddin dalam bedah buku Prahara Bangsa di Graha Kadin Jatim, Selasa (17/12/2024).
Kekacauan Pasal 33 Ayat 4
Pengamat politik-ekonomi ini juga menyoroti kekacauan Pasal 33 Ayat 4 UUD 1945 yang mengatur demokrasi ekonomi. Menurutnya, pasal ini tidak memiliki dasar akademik yang kuat.
“Tidak ada kajian akademik yang mendalam tentang demokrasi ekonomi. Inilah yang menyebabkan kebijakan ekonomi tidak tepat,” sambung mantan anggota DPR RI ini.
Buku setebal 400 halaman ia selesaikan dalam tempo 1,5 tahun. Sempat molor beberapa bulan akibat pemilihan presiden yang dibarengi dengan teori desepsi.
Ia sadar persoalan ini membawa konsekuensi yang tidak kecil. Sebab petinggi negeri maupun pimpinan partai politik tidak menyukainya. “Tidak masalah, itu saya sadari,” tegasnya.
Peran Partai Politik
Tak lupa sorotan pada kinerja partai politik yang kerap menghambat demokrasi. Sayangnya, belum ada parpol yang dikelola profesional dalam melayani kepentingan masyarakat.
“Seharusnya partai politik itu menjadi ‘infrastruktur’ yang efektif, bukan sekadar alat untuk kepentingan pribadi maupun kelompok,” tegasnya.
Belum lagi persoalan mobilitas kader parpol yang tidak sehat. Persoalan ini kerap memunculkan dinasti politik yang bisa menghambat kemajuan bangsa.
“Kita perlu mobilitas vertikal kader yang sehat untuk menghasilkan pemimpin yang berkualitas,” katanya.
Biaya Pemilu
Sorotan lain adalah biaya pemilu yang tiap lima tahun membengkak. Mahalnya penyelenggaraan pesta demokrasi tidak sebanding dengan manfaat bagi masyarakat.
Guru Besar Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS), Daniel Mohammad Rosyid, juga menyampaikan hal serupa. Menurutnya, biaya pemilu yang terlalu besar memunculkan stigma negatif di masyarakat.
“Biaya pilpres itu bisa mencapai Rp10 triliun, sedangkan di tingkat daerah Rp5 miliar. Tapi tidak ada dampak ekonomi bagi masyarakat,” ujarnya.
Dalam bedah buku ini hadir pula anggota MPR/DPD RI, AA LaNyalla Mattalitti dan doktor di bidang hukum asal Universitas Airlangga, Radian Salman.